"Riz, mau OL ndhak?"
"Oh iya, tak pinjem ya"
"Yo wes, pake dululah"
Dengan lincah jemariku menekan tuts keyboard laptop Toshiba Satellite L 640 hitam kawanku ini. facebook.com. Aku tulis diaplikasi flock yang sudah berjalan. Dan tak usah menunggu lama aku masukkan ID dan password akun facebookku di kolom yang sudah disediakan si empunya facebook. Hanya butuh sepersekian detik untuk menampilkan halaman berandaku. Aih, satu permintaan pertemanan, siapa ya? lama banget gak ada yang add, eh sekarang muncul. seperti tersihir gambar orang sedada berwarna biru dan berpangkat 'satu' berwarna merah diatas kepalanya, tanganku tanpa ragu melayangkan kursor, dan klik, loading. Dan....aih! Novi Sari Laksmana Putri. Aku baca ulang dengan perlahan nama yang tertera disamping foto berukuran kecil, berkawankan detak jantung yang semakin berirama rock and roll tentunya. No-vi-sa-ri-laks-ma-na-put-ri. Ah, aku tak salah baca! Tak salah baca! Hatiku seakan hendak loncat dari tempatnya, saking girangnya kawan. Tanpa banyak berdiskusi dengan pikiranku aku buka profile-nya. Fotonya tersenyum, seakan senyumnya hanya untuk aku seorang. Hmmm, senyumnya tak pernah berubah. selalu membuatku seperti berhadapan dengan surga-senyum ini yang membuat aku jatuh cinta padanya, cinta pertama. Huh, aku tak habis pikir, bagaimana Tuhan menciptakan makhluk yang lebih indah dari ratu bidadari ini. Senyumnya. menularkan keindahan perasaanku ketika memandangnya. Sungguh aku bahagia .Semoga ini bukan kebahagiaan yang semu. Tunas cinta itu tumbuh kembali? Setelah sekian lama, iyakah? Entah aku sendiri tak dapat menjawabnya. Ah, aku hanya bisa terdiam bermain dengan imajinasi.
Nama : Novi Sari Laksmana Putri
TTL : Paris, 27 April 1994
Status : Menjalin Hubungan Khusus
Sekarang Tinggal Edensor, United Kingdom
Pernah bersekolah di Supercamp of Edensor
Tubuhku seakan terhempas seketika setelah kegembiraan yang tadi memuncak. Kini runtuh oleh kenyataan. Ya, status “Menjalin Hubungan Khusus” diinfonya, seperti petir diluar sana, menggelegar, menghantam ranting-ranting hatiku. Patah, terkulai lemah ke tanah.
1 minggu kemudian....
Aku mempercepat langkah kakiku. Gerimis pagi ini semakin menjadi. Aku mengambil jalan pintas menuju sekolah. Belok kiri, terus lurus sampai ditaman pohon pinus sana, lalu kekiri lagi, dan kekanan. Sekitar beberapa meter di depan sana, sudah terlihat bangunan menjulang tinggi, SMAN 1 DJOGJAKARTA, sekolahku.
Sekonyong-konyong, aku berpapasan dengan Novi di depan gerbang sekolah. Langkahku berhenti seketika. Deg..! Dadaku sesak. Kikuk kikuk.
"Kak Rizki!" sapa Novi.
"E,eh Novi, gimana kabarnya?" Tanyaku gugup. Kami berjalan beriringan, searah.
"Alhamdulillah baik, Kak. Kak Rizki sendiri gimana kabarnya?" Jawab dan tanyanya yang disertai tersenyum manis, dengan lesung pipi dikanan kirinya. Melubangi hatiku.
"Alhamdalah juga baik. E, Novi masih inget bahasa Indonesia’kan? Jangan-jangan setahun di Perancis jadi lupa lagi ama bahasanya sendiri." Sendaku meredakan gemuruh hati sambil pura-pura merapikan tasku yang sudah rapi. Salting!
"Ah, Kakak ini. Dari dulu ndak ada ubahnya deh, tetep lucu. Ya, ndak lah. Moso cuma sa’taun wes lali ambhek bhasa e dhewe." senyumnya mengembang. Terkekeh-kekeh tipis.
Duh....senyum itu, membuat sempurna pagi ini.
"Ya udah kak. Aku kekelas dulu. Ntar, istirahat, kita ketaman yuk, mau nggak?!" Rayunya penuh manja. Sebenarnya, tak usah merayu aku pasti mau.
"Hmm, Insyaallah" Jawabku dengan menggaruk garuk kepala yang tak gatal. Kami berpisah dikoridor ini. Dia kelas XI IPA 1, tahun lalu dia dapat kesempatan pertukaran pelajar Indonesia di Prancis.Sementara aku XII IPS 1, yang tahun lalu hanya harus puas dengan perstise “Siswa Teladan IPS”.
“Ting. Tong. Jam keempat selesai, jam istirahat dimulai. Fourth period is up, Break period is start.”
Bel di sekolah kami yang tergolong unik itu berbunyi.
Aku celingukan mencari-cari satu wajah. huft, kemana dia ya? Tanyaku dalam hati. Tiba-tiba “kak Rizki, hayo. Nyariin aku ya?" Satu suara membuyarkan lamunanku. Hah, ternyata aku malah melamun, bukannya mencari sosok Novi. Dan aku menoleh " Ehh kamu, Nov. Ya, kurang lebih; begitu." Jawabku sekenanya. Dia tersenyum simpul. Ada desiran hangat yang menggetarkan hati ketika melihat senyumnya. Aih, indahnya. Bathinku.
"Oh iya kak, kita ke taman yuk!" Ajaknya.
Kujawab cepat, seolah tanpa berpikir. "Hayu!" Sungguh aku bahagia. Ada perasaan aneh menjalari tubuhku, mengingatkanku pada masa dulu. Rasa ini masih tetap sama, aneh dan belum bisa aku artikan. Áku bertnya-tanya dalam hati, apakah cinta itu memang seperti ini?
Sesampainya di taman sekolah, kami duduk dibangku kayu yang cukup untuk 3 orang. Dia menoleh dan bertanya.
"Kak Rizki tau ndak kalo fotosistesis itu sangat mempengaruhi penampilan daun agar terlihat lebih menarik".
"Oh gitu ya, hmm terus? “
“Soalnya ada pengaruh dari snar ultraviolet yang didapat dari matahari." Sambungnya menjelaskan. Haduh! bisa gak sih gak ngomongin IPA, aku kan ank IPS.bathinku. Aku kebingungan. Masih dalam hatiku saja. “Hm. Vi kamu laper gak? Kita ke kantin yuk, kebetulan aku belum makan dari pagi, ngobrolin tetang tumbuhanya besok-besok aja, metamorposisnya kupu-kupu, belalang, lebah atau chlorophil daun atau bahkan kambium cairan lendir dibatang asyik juga.” Rayuku berbekal hasil nguping dari si Randai dan kawan-kawan yang sekost denganku. Seketikapun gadis dihadapanku tersenyum cerah, merekah.
"Ciye, Vi ndak nyangka lho. Ternyata kakak banyak tahu juga tentang IPA. Padahalkan kakak ank IPS, Vi seneng deh."
Diapun tersenyum lagi, cantik, cerdas, dan mempesona, tiga anugrah Tuhan yang jarang diberikan sekaligus kepada kaum hawa. Dia makin cantik jika sedang tersenyum bahagia. Naluri kelelaki-lakiankuhanya mengeluarkan satu kata 'Fantastik!'.
"Ah aku hanya tau-tau sedikit saja, Vi." Advokasi atas cara aku menghindardari pembicaraan tentang IPA, aku butuh waktu untuk membaca beberapa buku refernsi. Demi merebut hatinya aku harus melakukan ultimate sacrifice yaitu dengan cara mempelajari IPA untuk merebut hatinya dan IPS untuk merebut Ijazah dengan nilai tinggi. Bukannya aku tak tahu IPS itu ilmu yg sangat berlawanan dengan IPA. Ilmu yang mengurusi hajat hidup orang banyak sedangkan IPA hanya segelintir orang-orang pilihan saja dan kebanyakan menghabiskan waktu di laboratorium. Idih aku ga mau seperti itu. Aku itu Rizki, Rizki Nugraha berjiwa bebas. Namun entyah kenapa demi gadis ini. Aku bersedia tanpa syarat mempelajari itu untuk membuatnya kembali padaku. Karena dia berstatus pacaran dengan orang lain. Glekkk...aku tersendak.
"Siapa? Prasetyo?"aku balik tanya, kaget.
"Ya Kak,Kak Rizki kenal?"tanya Novi bersungut.Aku menghela nafas panjang. Sesak.
"Ya. Dia sekelas denganku. Malah satu bangku. Emang ada apa dengan Pras?"
"Nggak apa-apa. Cuma nanya". Huft, aku sudah lebih sedikit bisa bernafas lega, meskimasih ada yang tak enak mengganjal dihatiku.
Hari sabtu.......
"Ki, ikut gua sebentar,aku ada perlunya ama loe" Ajak Pras sedikit memaksa.
"Ada apa, Pras? Tumben loe ngajak gua ke kebalakang sekolah. Kayak ngak ada tempat lain aja.
Sendaku dengan hati bergemuruh. Ada apa ini? Lenganya sigap menarikku, tak sempat aku membela diri. Kami sudah berada dibelakang sekolahan.
“Ada apaan sih ni?”
"Udah, loe nggak usah banyak bacot dech! Ada hubungan apa loe ama si Novi?" Matanya melotot. Merah, hawa pembunuh tercium darinya.
"Eh,Tunggu dech. Novi? Nggak ada apa-apa kok aku ama dia, sumpah! Emang kenapa sich? Dia apanya loe emang?" Tanyaku dirajai penasaran. Jangan-jangan benar prasangkaku.
"Novi itu cewek gua! Ngerti loe. Diaz bilang kalo loe berduaan di taman ama Novi, beneran tuh?!"
"Oh ya. Emang bener. Tapi dia yang ngajak gua kok. Lagian mana gua tau kalo dia cewek loe!" Aku membela diri.
"Ah, udah. Kebanyakan bacot loe!"
Bhuukkk..bhuukkk..!!!
Kepalan tangan kanannya menghantam wajahku bertubi-tubi. Aku tersungkur ketanah.
"Awas ya kalo loe berani deketin Novi lagi. Gua bunuh loe!!!" Ancam Pras sambil pergi meninggalkanku. kepalaku pening.
"Gua nggak nyangka loe begini ma sahabat loe sendiri, Pras" Rintihku menahan rasa perih. Aku raba hidung dan bibirku. Darah mengucur semakin deras dan aku tak dapat lagi menahan pening kepalaku. Tiba-tiba. Gelap...Gelap...dan semua warna memudar.
Ketika tersadar aku sudah di ruang UKS. Kepalaku masih berat dan sakit. Ukh. Aku haus. Tapi tak aku lihat sesiapapun di ruangan ini. Aku sendiri. Aku coba mengingat-ingat apa yang terjadi denganku sebelumnya. Ah Pras . Ya, Pras memukuliku sampai berdarah-darah dan aku pingsan. Semua gara-gara Novi. Melihat sifat Pras yang temperamental aku makin berniat melindungi Novi. Pras, tunggu pembalasanku! Batinku sambil mengepalkan tangan kuat-kuat. Ruang Kepala Sekolah.
"Brak!"
Bunyi dari tabrakan pukulan Pak Hudri- Kepala Sekolah-dengan meja kayu jati yang sudah selama 3 tahun aku lihat tak pernah berubah, koordinat dan penghiasnya."Jawab! Jawab pertanyaan saya! Kenapa kalian bisa sampai bertengkar, hah?!" Suaranya mengaum, bagai singa dipadang pasir, mengetarkan jiwa, menciutkan nyali. aku-maksudku kami, aku dan Pras-hanya menunduk, takut, dan takut."H...sudahlah. Kalian diskors selama seminggu. Introspeksi diri. Jangan sampai berkelahi lagi, ingat nama baik orang tua kalian." Suaranya melunak, turun drastis beberapa oktaf. Aku menengadahkan muka, menatap pemilik suara itu. Mata tuanya sendu, seolah telah lelah membentak-bentak melangitkan suara.
"Sudah tidak ada yang ditanyakan? Pintu keluarnya sebelah sana." Tunjuknya kearah pintu dengan nada suara yang mencoba berdamai dengan keadaan. Kami beranjak mencium tangan beliau-aku rasa harus aku ganti kata ganti '-nya' menjadi 'beliau' karena telah berbaik hati tidak meninggaklkan bekas luka ditubuhku."Terima kasih, Pak" Gumamku seaaat setelah mencium tangannya.
Aku belok kanan dan Pras ke kiri. Aku masih bertanya-tanya, ada apa dengan Pak Hudri? Tak seperti biasanya seperti ini. Ah, entahlah, mungkin beliau sedang kecapean, atau mungkin beliau sedang sakit gigi, atau mungkin beliau sedang tak enak badan, tapi yang sudah pasti adaalah: Prasetyo masih membara!
Sabtu, 08.00 W.I.B
"ping!"
Apple PowerBook-ku berteriak singkat. Aku raih benda yang sudah aku biarkan sign in ke Facebook, Twitter, dan YM-ada pesan dari Novi.
"Kak Rizki, ada yang pengen aku omongin, penting. Kita ketemuan di danau tempat kita biasa ketemuan dulu ya. Ntar malem, jam delapan."
Aku lincah menekan layar TouchScreen yang keypadnya aku setting supaya bertype Qwerty.
"Iya, Inysa Allah kakak datang."
Hh, aku hempaskan tubuhku ke ranjang. Tiga hari sudah aku mendekam di rumah. Orang tuaku marah, kecewa. Dan akan tambah kecewa lagi jika aku beri tahu alasan asli kenapa aku bisa sampai dipukuli. Ayahku malah lain, stelah beliau memarahi aku di depan ibu, beliau menghampiriku saat aku terdiam diatap rumah. "Nak, maafkan bapakmu ini yang terlalu kasar. Bapak tak selembut ibumu. Bapak marah karena anak bapak tak bisa melawan, bapakmu ini tentara, Nak. bintang lima berbaris dipundak bapakmu ini. Itu tandanya bapakmu ini jendral! Bapak malu karena 'anak jendral kalah berkelahi' malu! Bapak malu, maka dari itu bapak memarahimu sehebat itu, maafkan bapakmu ini, Nak. Jangan kalah lagi dalam setiap perkelahian, ya." Aku hanya menunduk, ingin tertawa tapi tak sepenuhnya lucu. Ingin menangis, tak ada yang membuatku sedih. Ah, entahlah aku bingung. Lagi pula itu sudah tiga hari yang lalu.
20.15 W.i.B
"Heh, ngapain lu di sini?!"
Aku sangat mengenal suara yang menyentakku itu. Pras, masih dengan nada membunuhnya. Aku dengar suara langkah kaki yang mendekat. Semakin dekat. Dan aku berbalik. Set! Aku tangkap tangan yang sudah menggenggam potongan kayu semi balok yang, huuu lumayan besar, aku ambil kayu itu dan aku lempar jauh kebelakang.
"Gua ada janji ama Novi" Dengan tempo yang aku lambat-lambatkan aku jawab pertanyaan yang bernada mengusir tadi.
"Hah, gak salah denger gua? Ulangi!"
"Gua-ada janji-ama-Nooo-vi" Ulangku, memenuhi permintaan-lebih tepatnya-perintahnya. Dan, set! Aku menghindar, kepalan tangannya meninju angin malam didanau yang temaram. Dia masih terus mengejarku dengan kepalan tangan yang melesat silih menyusul, dan aku masih saja menghindar. Memancing emosinya sampai pada klimaksnya. Tak sudi aku buat malu sang jendral bintang lima lagi, Ayahku. Dan tak sudi aku dipecundanginya lagi. Kurasa cukup bermain-main. Babi sudah terlalu buta untuk menyerang. "Bhuk!" Badanya yang size pack terjerambab ke tanah setelah aku pukul dibagian pelipisnya. "Bhuk!" Tepat mengenai perut bagian sampingnya, tendanganku. "Ayo berdiri, ayo!" Tantangku, dengan kuda-kuda Tifan Pho Khan-bela diri muslim dari negri cina, yang berarti pukulan tangan bangsawan, Aku pelajari jurus ini langsung dari ayahku. Memang baru setengah tahun aku belajar, tapi dhat yang aku keluarkan sudah cukup untuk melumpuhkan orang-yang sudah matang, Lumayan misi balas dendamku terlaksana. Tapi kawan, perlu diketahui pukulanku tadi tak ber-dhat. Kau tahu dhat? Dhat itu adalah tenaga dalam yang dikeluarkan dari pukulan Tifan Pho Khan, konon katanya jika kita berlatih disiang hari, maka dhat yang keluar itu berhawa panas, bisa membakar syaraf-syaraf bagian dalam. Dan jika berlatih dimalam hari dhat yang keluar dingin, bisa membekukan darah dan yang lainnya. Aku berlatih dimalam hari, setelah melakukan ritual rutin sebelum latihan Tifan Pho Khan dimulai: Tahajjud dan Mentadabburi ayat Al-Qur'an.
Pras bangkit, nampaknya belum habis rasa penasarannya memukuliku.
"Cukuuuup!!"
Belum sampai tanganku yang akan menghentikan tangan Pras, sebuah suara yang sangat aku kenal berteriak. Suara surgawi, suara Novi. Kami menoleh. Novi berlinangan air mata.
"Novi?" Ucap kami serentak seraya melihat kepintu. Novi berlari menuju padaku sambil menyeret Diaz,ketua OSIS, juga teman sekelas kami.
"Aku sudah tahu semuanya, Kak" Novi menatapku dalam dalam, disertai linangan air mata. Seperti ada rahasia yang ingin dia sampaikan. Sementara aku, masih membisu. Dilehernya terpampang liontin yang aku berikan kepada Novi, namun karena malu aku titipkan pada Diaz."Itu’kan kalung yang aku kasih waktu ulang tahunnya sebulan yang lalu,kenapa masih ia simpan dan bawa kemari.lalu Pras?" Pikiranku masih diselimuti awan hitam,mencoba menguak semua rahasia. "Sebenarnya akulah yang salah" Diaz menyela. Kami, aku dan Pras, beradu pandang satu sama lain.
"Maafkan aku, Rizki. Selama ini aku yang udah bohong ma kamu. Kalung yang kamu titipin ke aku untuk dikasihai ke Novi, aku bilang kalau kalung itu dari Pras supaya kamu nggak deket deket lagi ama Novi dan membuat gosip disekolah kalau Pras udah jadian ama Novi” Ia berhenti,menarik nafas sbeberapa jenak."Aku udah lama mencintai kamu, K." Lanjut Diaz setengah berteriak."Tapi apa? Apa coba. Kamu seakan-akan nggak peduli dengan segala pengorbanan aku selama ini. Dan hanya menganggapku sebagai teman!" Diaz berhenti sejenak. Kulihat kini matanya sembab, lalu menetes. Diaz menundukkan kepala. "Tapi sekarang aku sadar, Aku sadar bahwa cinta kamu murni buat novi. Dan cinta itu nggak bisa dipaksa. Aku akan coba mengikhlaskaan saja, meski pasti sulit." Lanjut Diaz dengan suara serak menahan tangisannya.
"Maafkan aku telah mengganggu…" Belum sempat Diaz melanjutkan pengakuannya, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat dipipi kanannya.
PLAAKK!!!
"Dasar loe cewek penipu. Egois tau nggak loe!" Bentak Pras pada Diaz. Aku yang tak terima kalau ada cewek diperlakukan kasar oleh cowok langsung maju dan memeluk Diaz sambil berkata pada Pras,"Eh. Loe jangan kasar ya ama cewek, apalagi dihadapan gua, ntar gua bokem lagio loe baru tahu rasa!" Aku mengancam Pras karena tak terima dia menampar Diaz yang jelas jelas mengaku bersalah.
"Kok loe ikut campur? Inikan urusan gua ama Diaz" Pras nampak tak terima.
"Terus mau loe apa sekarang?" Tanyaku.
"Apa?!" Pras balik menantangku.
“Udah cukup!” hardikNovi melerai silat lidah ini, bergetar. Suaranya bergetar.
Kami- aku, Pras, dan diaz- memusatkan perhatian pada Novi yang diam dari tadi dan masih mengenakan kalung liontin pemberian dariku itu.
Novi menatap kami.lalu. Dia menghampiriku, mengcilkan yang lain, seraya berkata lirih,"Beneran kalung ini dari kak Rizki?",Aku menganggukkan kepala.
"Jadi...selama ini kak Rizki mencintai Novi?" Tanyanya dengan suara parau.
"Iya, Dik. Sebenarnya kakak mencintaimu. Tapi sehari sebelum rencana kakak untuk mengungkapkan semuanya tentang isi hati kakak, gosip hubungan adik dengan Pras sudah hangat dibicarakan. Dan esok harinya adik sudah terbang ke Prancis." Jawabku sambil menatapnya lekat lekat. Lalu Novi mengahmbur padaku dan memelukku erat erat.
"Aku juga cinta sama kak Rizki" Bisik Novi ketelingaku. Aku balas memeluknya.
Pras meninggalkan kami begitu saja. Tampaknya ia masih tak menerima kenyataan. Pras menendang tong sampah besar keras-keras di bawah pohon. Aku melepaskan pelukan Novi dan menghampiri Diaz.
"Maafkan aku, Ki. Hiks" Kata Diaz penuh isak.
"Iya. Aku udah maafin kamu kok. Udah jangan nangis lagi ya." Pintaku sembari memeluk Diaz untuk menguatkan hatinya. Novi tersenyum dan mengangguk padaku disertai senyumnya yang khas, lesung dikanan kiri pipinya.senyuman yang membuat aku terjatuh dalam cintanya. Senyuman yang begitu berarti buatku. Tak usah kalian mengejar aku untuk memaparkan arti dari senyuman Novi buatku. Karena pena selalu tergesah-geash dalam menjabarkan rasa.
THE END
"Oh iya, tak pinjem ya"
"Yo wes, pake dululah"
Dengan lincah jemariku menekan tuts keyboard laptop Toshiba Satellite L 640 hitam kawanku ini. facebook.com. Aku tulis diaplikasi flock yang sudah berjalan. Dan tak usah menunggu lama aku masukkan ID dan password akun facebookku di kolom yang sudah disediakan si empunya facebook. Hanya butuh sepersekian detik untuk menampilkan halaman berandaku. Aih, satu permintaan pertemanan, siapa ya? lama banget gak ada yang add, eh sekarang muncul. seperti tersihir gambar orang sedada berwarna biru dan berpangkat 'satu' berwarna merah diatas kepalanya, tanganku tanpa ragu melayangkan kursor, dan klik, loading. Dan....aih! Novi Sari Laksmana Putri. Aku baca ulang dengan perlahan nama yang tertera disamping foto berukuran kecil, berkawankan detak jantung yang semakin berirama rock and roll tentunya. No-vi-sa-ri-laks-ma-na-put-ri. Ah, aku tak salah baca! Tak salah baca! Hatiku seakan hendak loncat dari tempatnya, saking girangnya kawan. Tanpa banyak berdiskusi dengan pikiranku aku buka profile-nya. Fotonya tersenyum, seakan senyumnya hanya untuk aku seorang. Hmmm, senyumnya tak pernah berubah. selalu membuatku seperti berhadapan dengan surga-senyum ini yang membuat aku jatuh cinta padanya, cinta pertama. Huh, aku tak habis pikir, bagaimana Tuhan menciptakan makhluk yang lebih indah dari ratu bidadari ini. Senyumnya. menularkan keindahan perasaanku ketika memandangnya. Sungguh aku bahagia .Semoga ini bukan kebahagiaan yang semu. Tunas cinta itu tumbuh kembali? Setelah sekian lama, iyakah? Entah aku sendiri tak dapat menjawabnya. Ah, aku hanya bisa terdiam bermain dengan imajinasi.
Nama : Novi Sari Laksmana Putri
TTL : Paris, 27 April 1994
Status : Menjalin Hubungan Khusus
Sekarang Tinggal Edensor, United Kingdom
Pernah bersekolah di Supercamp of Edensor
Tubuhku seakan terhempas seketika setelah kegembiraan yang tadi memuncak. Kini runtuh oleh kenyataan. Ya, status “Menjalin Hubungan Khusus” diinfonya, seperti petir diluar sana, menggelegar, menghantam ranting-ranting hatiku. Patah, terkulai lemah ke tanah.
1 minggu kemudian....
Aku mempercepat langkah kakiku. Gerimis pagi ini semakin menjadi. Aku mengambil jalan pintas menuju sekolah. Belok kiri, terus lurus sampai ditaman pohon pinus sana, lalu kekiri lagi, dan kekanan. Sekitar beberapa meter di depan sana, sudah terlihat bangunan menjulang tinggi, SMAN 1 DJOGJAKARTA, sekolahku.
Sekonyong-konyong, aku berpapasan dengan Novi di depan gerbang sekolah. Langkahku berhenti seketika. Deg..! Dadaku sesak. Kikuk kikuk.
"Kak Rizki!" sapa Novi.
"E,eh Novi, gimana kabarnya?" Tanyaku gugup. Kami berjalan beriringan, searah.
"Alhamdulillah baik, Kak. Kak Rizki sendiri gimana kabarnya?" Jawab dan tanyanya yang disertai tersenyum manis, dengan lesung pipi dikanan kirinya. Melubangi hatiku.
"Alhamdalah juga baik. E, Novi masih inget bahasa Indonesia’kan? Jangan-jangan setahun di Perancis jadi lupa lagi ama bahasanya sendiri." Sendaku meredakan gemuruh hati sambil pura-pura merapikan tasku yang sudah rapi. Salting!
"Ah, Kakak ini. Dari dulu ndak ada ubahnya deh, tetep lucu. Ya, ndak lah. Moso cuma sa’taun wes lali ambhek bhasa e dhewe." senyumnya mengembang. Terkekeh-kekeh tipis.
Duh....senyum itu, membuat sempurna pagi ini.
"Ya udah kak. Aku kekelas dulu. Ntar, istirahat, kita ketaman yuk, mau nggak?!" Rayunya penuh manja. Sebenarnya, tak usah merayu aku pasti mau.
"Hmm, Insyaallah" Jawabku dengan menggaruk garuk kepala yang tak gatal. Kami berpisah dikoridor ini. Dia kelas XI IPA 1, tahun lalu dia dapat kesempatan pertukaran pelajar Indonesia di Prancis.Sementara aku XII IPS 1, yang tahun lalu hanya harus puas dengan perstise “Siswa Teladan IPS”.
“Ting. Tong. Jam keempat selesai, jam istirahat dimulai. Fourth period is up, Break period is start.”
Bel di sekolah kami yang tergolong unik itu berbunyi.
Aku celingukan mencari-cari satu wajah. huft, kemana dia ya? Tanyaku dalam hati. Tiba-tiba “kak Rizki, hayo. Nyariin aku ya?" Satu suara membuyarkan lamunanku. Hah, ternyata aku malah melamun, bukannya mencari sosok Novi. Dan aku menoleh " Ehh kamu, Nov. Ya, kurang lebih; begitu." Jawabku sekenanya. Dia tersenyum simpul. Ada desiran hangat yang menggetarkan hati ketika melihat senyumnya. Aih, indahnya. Bathinku.
"Oh iya kak, kita ke taman yuk!" Ajaknya.
Kujawab cepat, seolah tanpa berpikir. "Hayu!" Sungguh aku bahagia. Ada perasaan aneh menjalari tubuhku, mengingatkanku pada masa dulu. Rasa ini masih tetap sama, aneh dan belum bisa aku artikan. Áku bertnya-tanya dalam hati, apakah cinta itu memang seperti ini?
Sesampainya di taman sekolah, kami duduk dibangku kayu yang cukup untuk 3 orang. Dia menoleh dan bertanya.
"Kak Rizki tau ndak kalo fotosistesis itu sangat mempengaruhi penampilan daun agar terlihat lebih menarik".
"Oh gitu ya, hmm terus? “
“Soalnya ada pengaruh dari snar ultraviolet yang didapat dari matahari." Sambungnya menjelaskan. Haduh! bisa gak sih gak ngomongin IPA, aku kan ank IPS.bathinku. Aku kebingungan. Masih dalam hatiku saja. “Hm. Vi kamu laper gak? Kita ke kantin yuk, kebetulan aku belum makan dari pagi, ngobrolin tetang tumbuhanya besok-besok aja, metamorposisnya kupu-kupu, belalang, lebah atau chlorophil daun atau bahkan kambium cairan lendir dibatang asyik juga.” Rayuku berbekal hasil nguping dari si Randai dan kawan-kawan yang sekost denganku. Seketikapun gadis dihadapanku tersenyum cerah, merekah.
"Ciye, Vi ndak nyangka lho. Ternyata kakak banyak tahu juga tentang IPA. Padahalkan kakak ank IPS, Vi seneng deh."
Diapun tersenyum lagi, cantik, cerdas, dan mempesona, tiga anugrah Tuhan yang jarang diberikan sekaligus kepada kaum hawa. Dia makin cantik jika sedang tersenyum bahagia. Naluri kelelaki-lakiankuhanya mengeluarkan satu kata 'Fantastik!'.
"Ah aku hanya tau-tau sedikit saja, Vi." Advokasi atas cara aku menghindardari pembicaraan tentang IPA, aku butuh waktu untuk membaca beberapa buku refernsi. Demi merebut hatinya aku harus melakukan ultimate sacrifice yaitu dengan cara mempelajari IPA untuk merebut hatinya dan IPS untuk merebut Ijazah dengan nilai tinggi. Bukannya aku tak tahu IPS itu ilmu yg sangat berlawanan dengan IPA. Ilmu yang mengurusi hajat hidup orang banyak sedangkan IPA hanya segelintir orang-orang pilihan saja dan kebanyakan menghabiskan waktu di laboratorium. Idih aku ga mau seperti itu. Aku itu Rizki, Rizki Nugraha berjiwa bebas. Namun entyah kenapa demi gadis ini. Aku bersedia tanpa syarat mempelajari itu untuk membuatnya kembali padaku. Karena dia berstatus pacaran dengan orang lain. Glekkk...aku tersendak.
"Siapa? Prasetyo?"aku balik tanya, kaget.
"Ya Kak,Kak Rizki kenal?"tanya Novi bersungut.Aku menghela nafas panjang. Sesak.
"Ya. Dia sekelas denganku. Malah satu bangku. Emang ada apa dengan Pras?"
"Nggak apa-apa. Cuma nanya". Huft, aku sudah lebih sedikit bisa bernafas lega, meskimasih ada yang tak enak mengganjal dihatiku.
Hari sabtu.......
"Ki, ikut gua sebentar,aku ada perlunya ama loe" Ajak Pras sedikit memaksa.
"Ada apa, Pras? Tumben loe ngajak gua ke kebalakang sekolah. Kayak ngak ada tempat lain aja.
Sendaku dengan hati bergemuruh. Ada apa ini? Lenganya sigap menarikku, tak sempat aku membela diri. Kami sudah berada dibelakang sekolahan.
“Ada apaan sih ni?”
"Udah, loe nggak usah banyak bacot dech! Ada hubungan apa loe ama si Novi?" Matanya melotot. Merah, hawa pembunuh tercium darinya.
"Eh,Tunggu dech. Novi? Nggak ada apa-apa kok aku ama dia, sumpah! Emang kenapa sich? Dia apanya loe emang?" Tanyaku dirajai penasaran. Jangan-jangan benar prasangkaku.
"Novi itu cewek gua! Ngerti loe. Diaz bilang kalo loe berduaan di taman ama Novi, beneran tuh?!"
"Oh ya. Emang bener. Tapi dia yang ngajak gua kok. Lagian mana gua tau kalo dia cewek loe!" Aku membela diri.
"Ah, udah. Kebanyakan bacot loe!"
Bhuukkk..bhuukkk..!!!
Kepalan tangan kanannya menghantam wajahku bertubi-tubi. Aku tersungkur ketanah.
"Awas ya kalo loe berani deketin Novi lagi. Gua bunuh loe!!!" Ancam Pras sambil pergi meninggalkanku. kepalaku pening.
"Gua nggak nyangka loe begini ma sahabat loe sendiri, Pras" Rintihku menahan rasa perih. Aku raba hidung dan bibirku. Darah mengucur semakin deras dan aku tak dapat lagi menahan pening kepalaku. Tiba-tiba. Gelap...Gelap...dan semua warna memudar.
Ketika tersadar aku sudah di ruang UKS. Kepalaku masih berat dan sakit. Ukh. Aku haus. Tapi tak aku lihat sesiapapun di ruangan ini. Aku sendiri. Aku coba mengingat-ingat apa yang terjadi denganku sebelumnya. Ah Pras . Ya, Pras memukuliku sampai berdarah-darah dan aku pingsan. Semua gara-gara Novi. Melihat sifat Pras yang temperamental aku makin berniat melindungi Novi. Pras, tunggu pembalasanku! Batinku sambil mengepalkan tangan kuat-kuat. Ruang Kepala Sekolah.
"Brak!"
Bunyi dari tabrakan pukulan Pak Hudri- Kepala Sekolah-dengan meja kayu jati yang sudah selama 3 tahun aku lihat tak pernah berubah, koordinat dan penghiasnya."Jawab! Jawab pertanyaan saya! Kenapa kalian bisa sampai bertengkar, hah?!" Suaranya mengaum, bagai singa dipadang pasir, mengetarkan jiwa, menciutkan nyali. aku-maksudku kami, aku dan Pras-hanya menunduk, takut, dan takut."H...sudahlah. Kalian diskors selama seminggu. Introspeksi diri. Jangan sampai berkelahi lagi, ingat nama baik orang tua kalian." Suaranya melunak, turun drastis beberapa oktaf. Aku menengadahkan muka, menatap pemilik suara itu. Mata tuanya sendu, seolah telah lelah membentak-bentak melangitkan suara.
"Sudah tidak ada yang ditanyakan? Pintu keluarnya sebelah sana." Tunjuknya kearah pintu dengan nada suara yang mencoba berdamai dengan keadaan. Kami beranjak mencium tangan beliau-aku rasa harus aku ganti kata ganti '-nya' menjadi 'beliau' karena telah berbaik hati tidak meninggaklkan bekas luka ditubuhku."Terima kasih, Pak" Gumamku seaaat setelah mencium tangannya.
Aku belok kanan dan Pras ke kiri. Aku masih bertanya-tanya, ada apa dengan Pak Hudri? Tak seperti biasanya seperti ini. Ah, entahlah, mungkin beliau sedang kecapean, atau mungkin beliau sedang sakit gigi, atau mungkin beliau sedang tak enak badan, tapi yang sudah pasti adaalah: Prasetyo masih membara!
Sabtu, 08.00 W.I.B
"ping!"
Apple PowerBook-ku berteriak singkat. Aku raih benda yang sudah aku biarkan sign in ke Facebook, Twitter, dan YM-ada pesan dari Novi.
"Kak Rizki, ada yang pengen aku omongin, penting. Kita ketemuan di danau tempat kita biasa ketemuan dulu ya. Ntar malem, jam delapan."
Aku lincah menekan layar TouchScreen yang keypadnya aku setting supaya bertype Qwerty.
"Iya, Inysa Allah kakak datang."
Hh, aku hempaskan tubuhku ke ranjang. Tiga hari sudah aku mendekam di rumah. Orang tuaku marah, kecewa. Dan akan tambah kecewa lagi jika aku beri tahu alasan asli kenapa aku bisa sampai dipukuli. Ayahku malah lain, stelah beliau memarahi aku di depan ibu, beliau menghampiriku saat aku terdiam diatap rumah. "Nak, maafkan bapakmu ini yang terlalu kasar. Bapak tak selembut ibumu. Bapak marah karena anak bapak tak bisa melawan, bapakmu ini tentara, Nak. bintang lima berbaris dipundak bapakmu ini. Itu tandanya bapakmu ini jendral! Bapak malu karena 'anak jendral kalah berkelahi' malu! Bapak malu, maka dari itu bapak memarahimu sehebat itu, maafkan bapakmu ini, Nak. Jangan kalah lagi dalam setiap perkelahian, ya." Aku hanya menunduk, ingin tertawa tapi tak sepenuhnya lucu. Ingin menangis, tak ada yang membuatku sedih. Ah, entahlah aku bingung. Lagi pula itu sudah tiga hari yang lalu.
20.15 W.i.B
"Heh, ngapain lu di sini?!"
Aku sangat mengenal suara yang menyentakku itu. Pras, masih dengan nada membunuhnya. Aku dengar suara langkah kaki yang mendekat. Semakin dekat. Dan aku berbalik. Set! Aku tangkap tangan yang sudah menggenggam potongan kayu semi balok yang, huuu lumayan besar, aku ambil kayu itu dan aku lempar jauh kebelakang.
"Gua ada janji ama Novi" Dengan tempo yang aku lambat-lambatkan aku jawab pertanyaan yang bernada mengusir tadi.
"Hah, gak salah denger gua? Ulangi!"
"Gua-ada janji-ama-Nooo-vi" Ulangku, memenuhi permintaan-lebih tepatnya-perintahnya. Dan, set! Aku menghindar, kepalan tangannya meninju angin malam didanau yang temaram. Dia masih terus mengejarku dengan kepalan tangan yang melesat silih menyusul, dan aku masih saja menghindar. Memancing emosinya sampai pada klimaksnya. Tak sudi aku buat malu sang jendral bintang lima lagi, Ayahku. Dan tak sudi aku dipecundanginya lagi. Kurasa cukup bermain-main. Babi sudah terlalu buta untuk menyerang. "Bhuk!" Badanya yang size pack terjerambab ke tanah setelah aku pukul dibagian pelipisnya. "Bhuk!" Tepat mengenai perut bagian sampingnya, tendanganku. "Ayo berdiri, ayo!" Tantangku, dengan kuda-kuda Tifan Pho Khan-bela diri muslim dari negri cina, yang berarti pukulan tangan bangsawan, Aku pelajari jurus ini langsung dari ayahku. Memang baru setengah tahun aku belajar, tapi dhat yang aku keluarkan sudah cukup untuk melumpuhkan orang-yang sudah matang, Lumayan misi balas dendamku terlaksana. Tapi kawan, perlu diketahui pukulanku tadi tak ber-dhat. Kau tahu dhat? Dhat itu adalah tenaga dalam yang dikeluarkan dari pukulan Tifan Pho Khan, konon katanya jika kita berlatih disiang hari, maka dhat yang keluar itu berhawa panas, bisa membakar syaraf-syaraf bagian dalam. Dan jika berlatih dimalam hari dhat yang keluar dingin, bisa membekukan darah dan yang lainnya. Aku berlatih dimalam hari, setelah melakukan ritual rutin sebelum latihan Tifan Pho Khan dimulai: Tahajjud dan Mentadabburi ayat Al-Qur'an.
Pras bangkit, nampaknya belum habis rasa penasarannya memukuliku.
"Cukuuuup!!"
Belum sampai tanganku yang akan menghentikan tangan Pras, sebuah suara yang sangat aku kenal berteriak. Suara surgawi, suara Novi. Kami menoleh. Novi berlinangan air mata.
"Novi?" Ucap kami serentak seraya melihat kepintu. Novi berlari menuju padaku sambil menyeret Diaz,ketua OSIS, juga teman sekelas kami.
"Aku sudah tahu semuanya, Kak" Novi menatapku dalam dalam, disertai linangan air mata. Seperti ada rahasia yang ingin dia sampaikan. Sementara aku, masih membisu. Dilehernya terpampang liontin yang aku berikan kepada Novi, namun karena malu aku titipkan pada Diaz."Itu’kan kalung yang aku kasih waktu ulang tahunnya sebulan yang lalu,kenapa masih ia simpan dan bawa kemari.lalu Pras?" Pikiranku masih diselimuti awan hitam,mencoba menguak semua rahasia. "Sebenarnya akulah yang salah" Diaz menyela. Kami, aku dan Pras, beradu pandang satu sama lain.
"Maafkan aku, Rizki. Selama ini aku yang udah bohong ma kamu. Kalung yang kamu titipin ke aku untuk dikasihai ke Novi, aku bilang kalau kalung itu dari Pras supaya kamu nggak deket deket lagi ama Novi dan membuat gosip disekolah kalau Pras udah jadian ama Novi” Ia berhenti,menarik nafas sbeberapa jenak."Aku udah lama mencintai kamu, K." Lanjut Diaz setengah berteriak."Tapi apa? Apa coba. Kamu seakan-akan nggak peduli dengan segala pengorbanan aku selama ini. Dan hanya menganggapku sebagai teman!" Diaz berhenti sejenak. Kulihat kini matanya sembab, lalu menetes. Diaz menundukkan kepala. "Tapi sekarang aku sadar, Aku sadar bahwa cinta kamu murni buat novi. Dan cinta itu nggak bisa dipaksa. Aku akan coba mengikhlaskaan saja, meski pasti sulit." Lanjut Diaz dengan suara serak menahan tangisannya.
"Maafkan aku telah mengganggu…" Belum sempat Diaz melanjutkan pengakuannya, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat dipipi kanannya.
PLAAKK!!!
"Dasar loe cewek penipu. Egois tau nggak loe!" Bentak Pras pada Diaz. Aku yang tak terima kalau ada cewek diperlakukan kasar oleh cowok langsung maju dan memeluk Diaz sambil berkata pada Pras,"Eh. Loe jangan kasar ya ama cewek, apalagi dihadapan gua, ntar gua bokem lagio loe baru tahu rasa!" Aku mengancam Pras karena tak terima dia menampar Diaz yang jelas jelas mengaku bersalah.
"Kok loe ikut campur? Inikan urusan gua ama Diaz" Pras nampak tak terima.
"Terus mau loe apa sekarang?" Tanyaku.
"Apa?!" Pras balik menantangku.
“Udah cukup!” hardikNovi melerai silat lidah ini, bergetar. Suaranya bergetar.
Kami- aku, Pras, dan diaz- memusatkan perhatian pada Novi yang diam dari tadi dan masih mengenakan kalung liontin pemberian dariku itu.
Novi menatap kami.lalu. Dia menghampiriku, mengcilkan yang lain, seraya berkata lirih,"Beneran kalung ini dari kak Rizki?",Aku menganggukkan kepala.
"Jadi...selama ini kak Rizki mencintai Novi?" Tanyanya dengan suara parau.
"Iya, Dik. Sebenarnya kakak mencintaimu. Tapi sehari sebelum rencana kakak untuk mengungkapkan semuanya tentang isi hati kakak, gosip hubungan adik dengan Pras sudah hangat dibicarakan. Dan esok harinya adik sudah terbang ke Prancis." Jawabku sambil menatapnya lekat lekat. Lalu Novi mengahmbur padaku dan memelukku erat erat.
"Aku juga cinta sama kak Rizki" Bisik Novi ketelingaku. Aku balas memeluknya.
Pras meninggalkan kami begitu saja. Tampaknya ia masih tak menerima kenyataan. Pras menendang tong sampah besar keras-keras di bawah pohon. Aku melepaskan pelukan Novi dan menghampiri Diaz.
"Maafkan aku, Ki. Hiks" Kata Diaz penuh isak.
"Iya. Aku udah maafin kamu kok. Udah jangan nangis lagi ya." Pintaku sembari memeluk Diaz untuk menguatkan hatinya. Novi tersenyum dan mengangguk padaku disertai senyumnya yang khas, lesung dikanan kiri pipinya.senyuman yang membuat aku terjatuh dalam cintanya. Senyuman yang begitu berarti buatku. Tak usah kalian mengejar aku untuk memaparkan arti dari senyuman Novi buatku. Karena pena selalu tergesah-geash dalam menjabarkan rasa.
THE END
_______________________________________
Social Network (FaceBook) 4 Desember 2011, 23:59
El-Syariro, Sri Suhesti, Annas Kamal Batubara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar