Senin, 05 Agustus 2013

Dua Kopiah 3

Mendapat kabar lusa adalah hari yang dijanjikan, aku semakin semangat saja menjalani hari Sabtu yang sama horornya dengan hari Senin bagi orang non-pesantren—jadi di sini istilahnya bukan satnite tapi thunite, bukan malming tapi malat. Mengenai kabar tentang Thufa, aku masih berusaha mendapatkannya. Usaha hari ini dimulai sama seperti hari-hari sebelumnya dan hari-hari yang akan datang. Dengan berangkat membeli sarapan pagi tepat pukul 07.15. Sementara menunggu jarum jam mengarah ke angka 07.15 aku bersantai di halaman kamar, hitung-hitung menyerap vitamin D gratis dari matahari. Dan melintaslah Heru di hadapanku.

                “Nas, beli nasi yuk?” Ajak Heru.

                “Mau beli nasi ama saya? Tunggu sembilan menit lagi.”

                “Sih? Mak tak kalah ka apa sakale bekna Cong...Cong...”[1]

                “Hahahaha, nanti kamu juga tahu alasanya kalau sudah di jalan.” Dan kamipun mendiskusikan hal lain. Seperti, “Kamu kok pulang pas jam kedua kemarin? Rugi, Cong! Pelajaran Pak Walid.”  Heru menghakimi.

                “Siapa yang pulang? Dipanggil Pak Hasana, persiapan lomba katanya. Yang lama itu ngobrolnya ama Pak Umar.” Sergahku

                “Oh kirain pulang. Umam sama Andre kok ada di kelas tapi?”

                “Wong yang dipanggil cuma saya sama Ashif kok. Katanya yang lain nanti dikabari aja, kalo nanti berangkatnya kita bakal satu mobil ama putri. Jadi berangkatnya subuh, biar gak berbelit-belit ama Keamanan Pesantren.”

                “Sih? Mak nyaman bekna samobil bik binik? Terro kia engkok.”[2]

“Hilang semua loh hafalan Qur’anmu, satu mobil sama cewek. Sesempurna Thufa lagi.” Yah, aku sudah  bisa sedikit memahami bahasa Madura, namun serasa sulit untuk mengucapkanya.

“Hihihi” Heru terkekeh “Eh, saya dapat salam dari Ais.”

“Apa katanya?”

“Ya salam aja.”

“Trus?”

“Ya, gak ada. Seneng aja. Kemarin sore ketemu di jalan juga. Untung pas saya sendirian.”

“Ngobrol gak?”

“Enjek! Ghun messem tok perak”[3]

“Tergolong manusia-manusia yang merugi kamu, Bang.”

“Ye, kata siapa? Untung ruginya tergantung bagaimana kita mensyukurinya jugalah.” Yah, beginilah arah obrolan kami, dari mana ke mana entah tersambung di mana.

“Mayo, jam tujuh seperempat dah” Bahkan gaya bicaraku sudah mulai terkontaminasi.

Kami berjalan santai, keluar dari gerbang Madrasatul Qur’an—Asrama kami—dan di jalan sudah banyak santriah-santriah berpakaian putih-biru ada pula yang putih-hijau berangkat ke kelas masing-masing yang terletak di kompleks Asrama Pusat Putri. Satu jalan, dua jalur, satu sisi untuk santri putra, dan sisi lain khusus untuk santri putri. Dijaga seolah ketat oleh beberapa Keamanan Pesantren. Maka, siapa sangka jika aku yang jalan berdua dengan Heru tapi berbicara dengan santriah di sebrang jalan? Untuk menutupi  aku yang berbicara dengan santriah di sebrang jalan, wajahku mengarah pada Heru dan aku pinta Heru  mengulang hafalannya atau bernyanyi-nyanyi kecil saja. Dengan begitu, dari kejauhan aku dan Heru benar-benar nampak sedang asyik mengobrol. Dan benar-benar mengobrol dengan Heru ketika mendekati tempat Keamanan Pesantren berdiri.

Setelah melihat sekilas kebelakang untuk memastikan aku perlambat kecepatan berjalanku, tentu saja Heru hanya menyesuiakan. “Nas, ada surat dari Thufa.” Diyan membuka percakapan. Dialah kurirku selama ini. Diyan santriah juga tapi tidak tinggal di Asrama. Dia anak dari dosen sekaligus guru Bahasa Inggris SMA Pesantren Sabily. Diyan pun berdua dengan temanya, yang belakangan ini baru aku tahu namanya. Hilyatul Labibah atau Iba.

“Nanti malem donk ya, di Toko Annisa. Seperti biasa.”

“Iya, sip! Nas, maaf ya. Suratnya udah tiga harian di Diyan. Cuma gak ketemu terus sama kamu.”

“Diyan, saya tetep jam tujuh seperempat kok. Kamunya aja paling make motor ya?” Sebenarnya risih juga sih berbicara seperti ini. Tapi, aku pikir memang harus seperti ini. Dan aku anggap saja aku seperti tokoh utama dalam misi penting, seperti agen dari organisasi rahasia mungkin. Seperti di film-film.

“Iya sih, hehehe. Kemarin Diyannya agak gak enak badan. Jadinya pulang pergi dianter Bapak. Annas gimana kabar? Katanya mau ikut lomba? Ciye...”

“Alhamdulillah baik. Iya, inysa Allah lusa berangkatnya. Diyan gimana kabar?”

“Alhamdulillah baik. Gak mau nanya kabar Thufa? Hehehe”

“Her, kamu gak neglihat sandal yang digembok pas habis jum’atan kemarin?” Tanyaku pada Heru. Heru yang sedang bergumam tak karuanpun agak tercengang. Ah, dia belum terbiasa menjalankan tugas sebagai agen. Beberapa langkah lagi titik di mana anggota Keamanan Pesantren berdiri mengawasi. Dari jarak seperti ini, jika si Keamanan Pesantren teliti, dan jika aku terus berbicara dengan Diyan pasti ketahuan. Dan itu bisa fatal! “Itu yang sebelah kanan depan Masjid, tempat saya naruh sandal biasanya.” Lanjutku.

“Enggak tuh. Saya naruh sandal di Asta Nas kalau pas Jum’atan.”

“Oh, pantes.”

“Eh, tugas Pak Rifa’i itu gimana sih? Kok saya gak ngerti-ngerti.”

“Ya kalau dikasih tahu saya mau aja.” Jawabku untuk pertanyaan Diyan sebelumnya sembari melirik sedikit. Yah, anggap saja keamanan tadi itu sekilas pariwara.

“Maksudnya?” Sudah kubilang, Heru belum terbiasa menjadi agen!

“Hahahaha” Diyan tertawa kecil. “Nanti juga tahu sendiri kok. Thufa pasti cerita disuratnya.” Jawab Diyan, aku merasa dia tersenyum dan mengerlingkan mata.

“Uh, Cek neserra engkok ye!”[3] Keluh Heru.

“Hahahaha, sorry Her. Kamu ada salam dari Kiki, Yan.”Aku melirik, yang dilirik tersenyum yang sulit dibahasakan tapi mudah dipahami.

“Wa’alaika salam warahmatullah wabarakah. Dia ikut lomba juga tha?” Ada bau yang lain, seperti ada aroma yang lebih bersemangat, dan sedikit ke-ekslusif-an buat Kiki dari salam Diyan.

“Kok ‘alaika? Buat Kiki apa buat saya?” Diyan tersenyum.

“Yowes, wa’alaikum salam warahmah wa barakah, wa hafidhakumullahu jami’an.”

“Amin.” Hampir serentak aku dan Heru. “Ndhak Yan. Gak masuk nominasi dia, hehehe. Diyan gak ikut lomba?”

“Ikut, tapi yang Speech Contest-nya.”

“Uw keren. Sukses ya. Anas mau beli nasi dulu. Salam rinso buat Thufa ama makasih banyak buat kamu.”

“Sama-sama. Sip! Nanti tak sampein.”

Saat berbelok ke arah warung nasi aku sedikit memperhatikan Diyan, aku naikan sedikit oktaf suaraku agar terdengar oleh Diyan, “Kiki ikut Speech Contest juga!” Dia menoleh, tersenyum, dan mengepalkan tinjunya ke arahku. Aku hadapi dengan senyuman.

Misiku mendekati selesai, Diyan sudah berlalu. Kami masuk ke warung nasi Madurasa yang terletak di pinggir jalan. Warung nasi ini meski lauk pauk dan nasinya sedikit namun tak pernah sepi pengunjung. Bisa dipastikan 70% dari ribuan santri putra berlangganan dan berlama-lamaan untuk membeli nasi di sini. Terutama dipagi hari, saat santriah berangkat sekolah diniyah. Satu jam sehabis dhuhur, saat santriah berangkat sekolah SMP atau SMA sederajat—namun di waktu ini tidak sebanyak pagi atau sore hari. Dan sore hari, saat santriah berangkat sekolah dan pulang sekolah.

“Apa salam rinso, Nas?” Tanya Heru.

“RINdu SelalO.” Jawabku singkat. “Nasi dua Mbak, pake tumis, tempe sama ikan laut. Kamu Her?” Aku tak usah menunggu lama untuk memesan nasi begitu masuk, karena santri yang sebanyak ini, masih ‘mencuci mata’ dan menyapa santriah-santriah yang lewat yang mereka kenal atau masih dalam proses kenalan. Itulah mereka yang tidak bisa mengatur waktu. Bayangkan, hanya untuk meyapa saja sampai harus nongkrong di warung nasi, mungkin lebih dari setengah jam. Belum lagi resiko kalau kalau ada Keamanan Pesantren atau Umana’ Ma’had yang lewat dan terlihat. Sementara aku, dengan sedikit mengatur waktu, dapat berbicara dan mendapat surat pula. Masalah kenalan skunder? Hai, cukup kenal dengan satu saja maka belasan santriah yang akan mengenalmu! Dan perakrablah lagi dengan belasan santriah itu maka puluhan santriah lainya masuk ke daftar teman milikmu. Laiknya bisnis Multi Level Marketing!

***


                08. 30. Jam Muthala’ah sudah selesai berarti setengah jam lagi aku harus sudah berada di toko Annisa. Aku taruh kitab di rak buku. Di kamar, seperti biasa, ramai sekali. Kamar ini di juluki Darul Karamah, dan entah bagaimana tapi hampir semua santri di blok ini lebih betah di kamarku dibandingkan di kamarnya sendiri.

                “Nas, kamu gak kelihatan Bang Hendri?” Tanya Irul. Sumpah, aku geli! Dia menerjemah bahasa madura secara harfiah ke bahasa Indonesia. Maksudnya baik, supaya otaku tidak usah menerjemah bahasa Madura kebahasa yang aku kenal untuk mengerti pertanyaanya.

                “Ada di Pendopo kayaknya, coba samperin aja.” Jawabku dengan senyum yang satu langkah lagi menjadi tawa.

                “Makasih, Nas.” Dan Irul pun berlalu.

                “Pin, gak ngelihat Heru?” Tanyaku pada Alfian Musthafa, panggilanya Alpin. Lebih tua dariku, tapi di santri putra jarang sekali ada yang memanggil Mas, atau Kakak kecuali memang Kakak kandung atau belum saling kenal. Berdasarkan kabar yang kudengar ini sangat bertolak belakang dengan habitual santriah.

                “Enggak, Nas. Eh, kata Heru tadi pagi kamu ngobrol sama Diyan anak Pak Sugi ya?” Tanya Alpin.

                “Heeh, emang napa?” Selidikku seraya duduk di dekat Alpin dan teman-teman forum diskusinya.

                “Kenal di mana?”

                “Kenal di jalan. Sama temen sih, dua harian habis OPM-lah. Emang kenapa?”

                “Ndhak Nas, nanya aja. Kok hebat kamu bisa kenala ama dia, dia kan banyak yang suka loh Nas. Susah lagi mau kenalan ama dia.”

                “Ya ndhak jodoh berarti, Pin. Hehehe. Emang siapa aja gitu yang suka? Kamu juga?”

                “Hahaha. Enggak enggak bukan saya, temen-temen saya. Kamu ada hubungan apa ama Diyan?” Wow, bau apa ini?

                “Owh...kirain. Dak, dak ada perasaan suka kok. Cuma temen biasa.”

                “Nitip surat buat dia boleh gak Nas?” Tanya Faqik. Pertanyaannya antusias tapi tak tercium niat ikhlas.

                “Duuh gimana ya? Nantilah tak tanya dulu, mau gak dia disuratin. Soalnya di masih gak mau banyak kenal ama cowok dulu katanya. Masih trauma ama yang kemarin-kemarin.”

                “Oh, nanti kasih tau saya kalau mau ya.”

                “Insya Allah...”

                “Sih? Nitip surat ka sapa, Dul?”[4] Tanya Gilang. Dul, panggilan teman-teman untuk Abdul Faqik.

                “Enggak, bukan ke siapa-siapa kok.” Elak Faqik.

                “Eh, Nas! Katanya kamu tadi pagi ngobrol ama Diyan?” Lanjut Gilang.

                “Tau dari mana?”

                “Anak-anak banyak yang ngomongin.” Ya Salam, Heru!

                “Heeh, emang kenapa?”

                “Salamin, Cong. Dari Gilang gitu ya. Kalau mau kenal lebih tinggal jawab iya, biar semuanya saya yang urus!” Seperti ada api membara di belakang Gilang.

                “Iya, Insya Allah.” Jawabku. “Nah, Her. Keluar yuk!” Spontanitas saat Heru menampakkan dirinya.

                “Jadi apa?” Tanya Heru.

                “Iyalah, ayo!”

                “Mau ke mana, Nas?” Tanya Alpin.

                “Mau ke Annisa, Pin. Mau nitip-nitip tha?”

                “Ndhak, Pin, Ndhak! Anas bukan cuma mau keluar tok ini.” Serobot Heru.

                “Hahaha, nganu apa pas Bang?”[5] Balas Alpin. Kamu tahu? Auranya cemburu!

                Belum sempat Heru menjawab, “Beli buku, ama komik Naruto, Tapak Naga juga!” Potongku.

                “Sip, Kakek! Nanti saya pinjam ya?” Rofi’i antusias. Dia memanggilku kakek karena aku memanggil dia Datuk. “Saya juga ya, Boy!” Siapa itu? Berril of crouse!

                “Udah Berril saya ya, Nas?” Yudi mendaftar.

                “Engkok kia, engkok kia!” Rofi ikut mendaftarkan diri. Tak kusangka statemen bodoh seperti itu banyak juga pendukungnya

                “Monggo, tapi ngantri...yuk, Her!” Aku dan Herupun keluar kamar.

                “Eh, Kek! Tapak Naganya yang ke lima belas aja dah. Yang tiga belas ama empat belasnya Mbah Tejo dah beli.” Teriak Rofi’i dari kamar.

                “Insya Allah, Datuk!” Sahutku.

                Kali ini kami keluar dari Madrasatul Qur’an dari gerbang barat.  Tidak akur dengan yang tadi pagi memang, gerbang timur. Karena gerbang timur boleh dibilang hanya aktif disiang hari. Pagi hari untuk jalur lari pagi santri putra, membeli nasi dan lalu lalang santriah dan santri putra berangkat dan pulang sekolah. Sepanjang siang sampai beberapa saat sebelum maghrib. Selepas maghrib jalan ini sepi, gelap pula. Jarang ada yang melewati, terlebih diatas jam sepuluh malam—waktu santriah kembali ke kamar masing-masing. Sedangkan gerbang barat, banyak outlet yang bisa dikunjungi begitu keluar dari gerbang. Beberapa toko baju, tokok kitab dan buku. Komik juga ada. Waralaba milik pesantren dan warga. Warung nasi dan jajanan kaki lima yang hanya buka pada malam hari. Asta almarhumin dan keluarga pesantren. Masjid Jami’ Sabily dan Perpustakaan di lantai duanya. Gedung SMK dan OSIS-nya. Gedung SMP dan OSIS-nya. Kantor Institut Agama Islam Sabily dan Akademik-Akademiknya. Labaoratorium IPA yang secara tidak resmi menjadi markas bagi santri asal Jawa Barat seperti aku dan Alfan. Wisata religi setiap malam!

                Untuk sampai ke Annisa, dari gerbang barat kami harus terus ke arah selatan. Setelah melewati Mushalla Libasut-taqwa maka kami akan segera sampai ke toko baju terbesar di kawasan Ma’had Sabily. Rutenya, Madrasatul Qur’an, Gerbang Barat, Mushalla Libasutaqwa, Annisa. Kenapa mirip sekali dengan Dora the Explorer?

                “Anas, Tamam!” Ini dia, Ahmad Rofa Al-mukhi atau Kiki. “Mo kemana lu pade?”

                “Ke Annisa, Ki. Janjian tadi ama Diyan.” Jawabku.

                “Lu mau ambil surat dari si Thufa kan ya? Ikut donk. Si Diyan ngajakin ketemuan juga.” Pinta Kiki.

                “Oh, boleh. Ayo!”

                                                                                                ***

                Aku sapukan pandangaku ke sekliling toko ini, ada beberapa Umana’ Mah’had! Ada Ustadz Hermanto, Kasubag Ubudiyah, guruku di SMK, Bendahara Madrasah Aliyah, ketua kamar E. 12, Mentor di ADIS, Audisi Da’i Sabily. Beliau nampak bersama empat orang ketua kamar daerah Sunan Kudus atau dareah E lainya. Ada Ustadz Karsono Djalil, Kasubag Asrama yang melantik dan menurunkan para ketua kamar dan lainya, guru Madrasah Tsanawiyah, mu’allim kitab Nahwu dan Sharraf di Mushalla Sabily, guru BK-ku di SMK. Beliau nampak bersama istrinya. Gawat! Dan Diyan. Entah sadar atau tidak akan keberadaan Ustadz Karsono, ia berjalan ke lokasi biasa kami melakukan transaski, tempat yang saat ini sangat dekat dengan Ustadz Karsono!

                “Nas, gimana ini?” Tanya Heru, ragu. Aku tersenyum, hambar.

                “Sante aja si, Her.” Timpal Kiki. “Noh, Diyan ama si Iba.” Diyan dan Iba ada di deretan busana wanita yang bersebelahan dengan busana Pria. Delapan sampai sepuluh langkah ke depan dari tempat sarung, sejadah, jubah, dan tasbih. Atau delapan sampai sepuluh langkah ke belakang dari Ustadz Karsono beserta istri yang terlihat sedang memilah sejadah. Sementara, Ustadz Hermanto dan ketua kamar lainya ada jauh di spot parfum dan aksesoris, terhalang tiang menyangga pula..

                Kiki berjalan di depan, “Ekheum” Kiki berdehem. Diyan menoleh. Memang ini kode rahasia yang sering kami gunakan untuk memanggil. Diyan tetap berpura-pura memilih Busana Wanita, sementara kami bertiga berpura-pura memilih busana pria. Diyan dan Iba menghadap utara dan kami menghadap selatan. Heru berkeringat. Aku dan Kiki semangat!

                “Kiki kok gak bilang kalo ikut lomba?” Sewot Diyan dengan suara yang pelan.

                “Wa’alaikum salam.” Timpal Kiki, dengan suara terendah pula. Aku, Iba, dan Heru tersenyum menahan tawa. Diyan kecut!

                “Sumpah, Yan. Kiki juga baru tau kemaren pas pulang sekolah. Dikasih tau Ashif kalo SMK juga mau ikutan Telling Story ama Speech Contest.” Masih dengan suara rendah, dua tingkat di atas  berbisik.

                “Kok gak sms, kamu bawa hapekan?” Cemburu tanda cinta, marah tandanya sayang, curiga karena takut kehilangan. Kalau yang ini entah tergolong apa. Nadanya marah tapi berbisik, bukan membentak.

                “Maaf donk, kagag ada pulsa. Sms yang tadi aja gak dibales kan? Lagi boke gue!” rujuk Kiki. “Maaf donk, Yan...maaf ya.”

                “Iya deh. Dimaafin. Tapi jangan diulangi lagi.” Dan tanda dari masih cinta adalah masih memaafkan.

                “Yes!” Kiki lost control, Ustadz Karsono menoleh! Gawat!

                “Beh, Rofa?” Aku seperti tersengat. Heru makin berkeringat. Diyan dan Iba mendadak beraura aneh. Kiki menghampiri Ustadz Karsono beserta istri, terpaksa aku dan Heru membuntuti. Kami bersalaman. Dasar Kiki, mau apa lagi?

                “Arapa bekna mak acereng, Fa?”[6] Tanya Ustadz Karsono sembari terus menyeleksi sejadah.

                “Ada baju koko bagus Ustadz, ukurannya pas, trus harganya pas diliat eh cuma tujuh puluh ribu. Seneng Ustadz.”

                “Oh katanya saya kamu dapat surat dari cewek itu.” Ustadz Karsono menoleh ke arah Diyan dan Iba—yang aku rasakan auranya semakin suram. Pastinya adrenaline-ku dan Heru makin cepat berpacu. Entah Kiki mungkin dia pernah ikut sekolah acting.

                “Ndhak Ustadz.” Jawab Kiki.

                “Bekna mak apeloan, Tamam?”[7] Tanya Ustadz Karsono.

                “Enten Ustadz.”[8] Jawab Heru menunduk, suaranya bergelombang. Masih grogi.

                “Kepanasan mungkin Tadz. Tadi sore gak sempet mandi, kipasnya di sini mati juga.” Aku menambah. Heru melirik. Aku bahasakan sedikit lirikan Heru; Apanya yang gak mandi? Kamu itu yang minta odol saya sampe hampir habis, kurang ajar!

                “Oh iyelah. Eh, kabeleh ka nakanak se benyak skora soroh urus. Berremmana ujian la parak sekora benyak se tak e oros? Nandi, Nandi poleh jheria belei, padeteng oreng toana mun tero noro a ujien.” [9]

                “Iya, Tadz.” Aku dan Rofa “Enggih, Ustadz.” Alih bahasa oleh Heru hampir serempak. Dan Ustadz Karsono beserta Istri menjauh, melewati Diyan dan Iba setelah mereka bersalaman. Maklum, rumah Diyan dan Iba berdekatan dengan kediaman Ustadz Karsono. Ayah merekapun kenal baik. Ustadz Karsono sudah jauh, ada di Kasir dan Ustadz Hermanto dan kawananya sudah tidak ada lagi. Yang lain hanya tamu, warga sekitar dan santri putra lainya. Kami kembali ke posisi awal.

                “Uh, billahi nako e!” [10] Keluh Iba. Sementara Diyan hanya mengelus-elus dada dan mengatur nafas.

                “Ya udah Nas, ini suratnya. Perasaan Diyan jadi gak enak kalau dilanjutin.” Aku perhatikan dari cermin yang ada di atas-atas  toko, Diyan mengeluarkan sesuatu dan diselipkan di saku salah satu busana wanita. Busana dengan motif zebra.

“Diyan pulang dulu ya. Nanti kalau mau nitip balesanya, kalau dak ketemu di jalan, suruh Kiki beli pulsa dulu trus sms Diyan. Assalamu’alaikum, hafidhakumullahu jami’an. Semoga kalian semua dalam lindungan Allah Ta’ala.” Pamitnya dengan membawa satu pakaian yang entah apa namanya itu.

“Amin. Wa’alaikum salam.” Jawab kami. “Syukran Ya Ukhti, Jazakallahu khairan jaza.” [11] Timpalku

Belum juga tujuh langkah, “Allahu Akbar!” Iba terkejut, Diyan gelagapan. Aku yang masih memperhatikan cermin di ataspun terpranjat.

“Kenapa Ba?” Tanya Kiki seraya menoleh ke arah Iba. Belum lunas tolehanya, Kiki terdiam.

“Na’udzu birrahman. Na’udzu birrahma. Na’udzu birrahman....”[12] Heru berdzikir.

Keluar dari tungku, masuk ke perapian. Keluar dari sarang buaya, masuk kandang singa. Baru saja Ustadz Karsono berlalu kami melihat dengan mata kepala sendiri Ustadz Drs. Ahmadi Muhammadiyah, M.HI, M.PdI, M.IF, Al-hadidz Dosen Ma’had ‘Aly untuk program S1 dan S2, Dosen di  Fakultas Tarbiyah, Syari’ah dan Dakwah, Sang Ketua Keamanan Pesantren dikawal ajudannya yang paling tidak disenangi santri putra pun santriah, Si Penjagal Pesantren, Najibuddin! Mereka masuk dan menyapukan Pandangan. Berbincang-bincang dengan pemilik toko di kasir yang menunjuk ke arah kami. Rasanya aku seperti mencair.

Bukan hanya Heru saja kali ini yang berkeringat, Kiki dan aku bahkan bergetar hebat!

“Fella, laa takhaf wa laa tahzan!”[13] Diyan menyemangati—meski itu serasa lebih untuk menenangkan diri sendiri.

Diyan memberanikan diri maju ke kasir. Iba mengikuti. Kami terus berpura memilih pakaian, Heru masih dengan dzikirnya. Diyan dan Iba lolos tapi kami belum pasti. Lagipula Ustadz Ahmadi lebih suka menangkap santri ketimbang putri. Selang beberapa saat, Ustadz Ahmadi dan ajudanya berhenti tepat dibelakang kami. Horor, ini horor sekali!

“Tasbih Counter yang empat digit masih ada?” Tanya Ustadz Ahmadi pada penjaga toko yang berjalan hendak masuk ke spot tasbih, sejadah, jubah, sarung, dan surban. Adegan ini kami lihat dari cermin tentunya dengan melirik.

“Ada Tadz, masih banyak.” Jawab Si Penjaga Toko. Ustadz Ahmadi dan Ajudanyapun berlalu.

“Alhamdulillah...” Hamdalah kami lirih, sangat lirih! Bahkan hampir tak terdengar oleh pendengaran sendiri. Tapi begitu deras berdesakan di dalam dada.

Tak ambil tempo lagi setelah aku pastikan aman aku sambar surat di saku baju tadi. Kamipun segera keluar dari Annisa, tanpa satupun barang belanjaan. And mission completed!

________________________
                [1]  : Gayamu selangit (Terjemah Bebas).
                [2]  : Loh? Enak sekali kamu ini satu mobil dengan perempuan? Saya juga mau!
                [3]  : Enggak! Cuma senyum aja.
                [4]  : Duh, kasihan sekali aku ini.
                [5]  : Hahaha, terus mau ngapain Bang?
                [6]  : Kenapa kamu kok teriak, Fa?
                [7]  : Kamu kok keringatan, Tamam?
                [8]  : Tidak apa-apa, Ustadz.
                [9]  : Oh, iyalah. Eh, kabari anak-anak yang skornya banyak suruh urus. Bagaimana ini ujian sudah dekat kok skornya masih banyak yang belum diurus? Nandi, Nandi itu kabari juga, datangkan orang tuanya kalau  mau ikut ujian.
                [10]  : Duh, Demi Allah horor! (Terjemah Bebas)
                [11]  : Semoga Allah membalas dengan sebaik-baiknya balasan.
                [11] : Kami berlindung kepada Yang Maha Pengasih. Kami berlindung kepada Yang Maha Pengasih. Kami berlindung kepada Yang Maha Pengasih.....
                [13] : Kawan, kamu tidak usah khawatir dan kamu juga tidak usah sedih. (Tapi saya lebih suka mengartikan; Kawan, tak usah risau tak usah galau.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar