Coz there’s something in the way you look at me
It’s as if my heart knows you’re the missing piece
You make me believe that there’s notheing in this world I can’t be
I’d never know what you see
But there’s something in the way you look at me
Serak-serak merdu suara Kiki membawakan lagu Christian Bautista berjudul The Way You Look at Me di ‘pasar tumpah’ siang ini. Ahmad Rafa Al-Mufki. Dari Bekasi. Albino dengan tinggi badan 147 cm. Satu-satunya ‘bule’ di kelasku. Ya, menyanyi adalah rutinitasnya saat guru fak dan guru piketnya tidak ada. Dan itu sangat menghibur.
Disampingku Heru sibuk dengan hafalan Alqurannya. Dia huffadz. Penghapal Alquran. Di depanku ada Andre Juprianto. Dari Tabanan, Bali. Nampak sedang asik berdiskusi entah apa dengan Khairul Umam, pemuda asal Kalimantan. Juga Saiful Bahri Situbondo. Kenapa harus ditambahi asal daerahnya dibelakang nama? Karena di sini ada juga yang bernama Saiful Bahri. Tapi dari Banyuwangi. Hanya untuk membedakan.
Inilah suasana kelas X TKJ A dikala jam pelajaran kosong dan tidak ada guru, ramai!
“Hahaha mak bisa Cong?”[1]
“Iya, Im. Ayam Bknya saya kan dijamuin terus seminggu sekali.”
“Sish, anu itu ya Cong. Langalae ka se endik[2] itu kamu ya.”
Zaim Nasrallah dengan logat Madura kentalnya yang selalu berhasil menggelitik hatiku sedang asik membicarakan ayam BK milik Kacong yang selalu menang bertarung. Tentu saja Kacong itu hanya panggilan. Nama aslinya bagus. Bagus sekali. Imam Syafi’i. Mungkin orang tuanya berharap anaknya ini menjadi orang yang sangat paham agama. Terutama dasar dari hukum-hukum agama. Seperti Imam Syafi’i panutan madzhab Syafi’iyah. Satu dari empat madzhab termashur sedunia. Terutama di Indonesia. Meski dalam proses pendewasaan diri anaknya ini—terutama saat ini—Imam Syafi’i yang satu ini, lebih gemar memelihara hewan-hewan peliharaannya yang ia tampung di pemandiannya yang tak jauh dari lokasi Pesantren dari pada belajar. Hm, biar kujelaskan sedikit tentang anomali Pesantrenku.
Pesantrenku ini berbeda dengan pesantren kebanyakan. Konon katanya dan memang fakta yang ada berbicara bahwa dahulunya Pondok Pesantren Sabily adalah hutan belantara. Pendiri sekaligus pengasuh pertama yang datang dari daerah Madura beserta anaknya yang juga menjadi pengasuh setelahnya membabat sedikit demi sedikit hutan belantara ini dan menyulapnya menjadi pondok pesantren. Dan terus berkembang hingga saat ini. Sehingga warga di sini ada karena pesantren ada. Dan di sini, pemukiman warga dan pesantren berbaur menjadi satu. Jadi, yang santri boleh dan bisa menumpang mandi, mencuci pakaian di rumah-rumah warga sekitar pesantren. Dengan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku dan diberlakukan. Baik oleh pihak Pesantren sendiri dan warga yang ditumpangi santri. Dan bangunan milik warga yang ditempati santri-santri untuk mandi, mencuci, dan istirahat disiang hari itu disebut pemandian. Dan warga pemilik pemandian itu disebut tuan rumah. Begitupun dengan makan. Santri Ma’had Sabily tidak menanak nasi sendiri, juga jarang makan di kantin pesantren. Kantin pesantren di sini jarang peminatnya. Alasannya makanannya kurang garam, sedikit pilihan, dan yang paling jelas dan menjadi rahasia umum karena lokasinya yang berada jauh dengan jalur santriah lewat. Maka dari itu, ramailah warung-warung nasi milik warga di pinggir-pinggir jalan, terutama jalur yang dilalui santriah. Ya‒inilah kalimat paling klise‒ santri juga manusia. Orang beragama itu tak ubahnya orang berpendidikan. Bertingkat-tingkat. Ada yang setingkat ‘TK’, ‘SD’, ‘SMP’, dan seterusnya. Dan santri yang masih gemar mengabsen dan apapun itu yang berhubungan dengan santriah karena nafsu itu aku golongkan pada tingkat ‘SMP’ saja. Santri yang menggunakan kalimat santri hanya sebatas status saja. Tapi aku yakin, ini belum akhir, ini masih proses. Bagaimana? Setuju? Aku juga salah satu dari mereka yang berada ditingkat ‘SMP’ tentunya. Dan satu lagi. Di pesantren besar seperti ini, semua santri memiliki semua kesempatan. Kesempatan untuk menjadi baik, juga kesempaan untuk menjadi buruk. Jadi jika bukan karena kemauan kuat dari diri sendiri untuk menjadi lebih baik dan lebih baik adalah suatu keberuntungan dan kasih sayang Allah Ta’ala semata.
“Ssstt...sstt...ssttt...” Hampir setiap mulut di kelas ini mendesis sebagai isyarat untuk tenang ketika Pak Hasana masuk. Kaur Kesiswaan yang penuh tanggung jawab dan tegas. Hanya saja ketegasan beliau sering diartikan kekerasan oleh para siswa. Ya, begitulah ketegasan dan kekerasan. Perbedaannya hanya dikasih sayang. Ketegasan yang dilakukan tanpa embel-embel kata kasih sayang sering diartikan sebagai kekerasan. Padahal sebenarnya jika sudah cukup dewasa dalam berpikir kita bisa membedakan yang mana ketegasan dan yang mana kekerasan.
“Mak se ngerenger malolo rah nakanak ria.”[3] Kalimat keluhan tapi diiringi dengan senyuman. Senyum? Pak Hasana masuk dengan senyum mengembang? Sejuk sekali rasanya hati melihat Pak Hasana yang selama ini seolah sudah lupa bagaimana caranya tersenyum membiarkan senyumnya menari-nari diudara. Pertanda baik. Aku yakin ini pertanda baik!
Teman-teman masih diam. Dan aku yakin mereka juga merasa apa yang aku rasa. Pak Hasana mengangkat selembaran di meja guru yang ia duduki. Ia membacanya. Ia tak ubahnya pembawa berita dari kerajaan di masa silam.
“Dan hasil keputusan rapat wali kelas, kaur kesiswaan, dan guru fak, Annas Dzikrullah Yusuf, Andre Juprianto, Arif Hidayatullah, Khairul Umam, Thufa Althafunnisa, dan Khaura Laura Juwita diikutkan lomba Presentasi Sistem Operasi dalam bahasa Inggris. Dan Ashif Wahyu Hidayat, Febriyana, Asiyah Al-Humaira, diikutkan lomba Akuntansi.”
“Beh, Pak kule mak tak e panoro’?”[4] Sergah Faruk seketika. Tentu saja memang sudah settingannya seperti itu. Jika ada hal-hal menarik dan namanya tidak diikut sertakan, tidak peduli siapa dan jabatannya apa—kecuali kiai mungkin—harus disanggah dengan niatan gurau dan memeriahkan suasana. Aku anggap itu caranya mengucapkan selamat.
“Kamu bisa apa?” Sahut Pak Hasana dengan ekspresi khasnya. Datar dan dingin.
“Ya enggak kan....”
Sementara debat kusir antara Faruk dan Pak Hasana berlangsung. Untuk beberapa jenak lamanya pikiran dan fokusku, sepenuhnya, tidak ada dikelas. Sungguh sangat canggih luar biasa efek dari satu nama yang kudengar barusan. Thufa Althafunnisa. Sudah tiga bulan berlalu. Tiga kali bicara via wartel dan tujuh kali surat meneyurat, tidak berlanjut karena sampai saat ini masih terhambat di pihak Thufa. Ah, Thufa Althafunnisa. Pak Hasana, apa kabar dia?
“Heh, apa tuh katanya Pak Hasana.” Senggol Heru.
“Ah, ya Pak?”
“Kamu, Andre, Umam slide presentasinya buat sendiri. Lombanya seminggu lagi. Bimbingannya ke Pak Badrul.”
“Siap, Pak!” Jawab kami serempak hampir bersamaan.
***
Sudah sangat hafal aku puisi-puisi di buku ini. Tapi membacanya sama sekali tak membuatku jenuh. Ini seperti menggaruk gatal. Tidak digaruk, gatal. Digaruk, nikmatnya luar biasa. Semakin digaruk semakin nikmat meski di ujung ada perihnya luka yang menunggu. Perih karena rindu yang menggebu-gebu.
“Ndhak tidur, Nas?” Sapa Heru.
“Udah ngajinya? Sini deh, sini.” Pintaku. Heru pun duduk di sampingku yang sedang berbaring.
“Baca apaan? Huh, masih gak bosen-bosen ya kamu baca buku itu? Kayanya tiap hari kamu baca?”
“Hehe. Sama aja kaya kamu. Nggak bosen-bosen tiap waktu ngaji?”
“Ya kan lain, Nas.”
“Ya kan motivasinya sama, Her.”
“Sama gimana?”
“Cinta....” Jawabku dengan lengan menengadah laiknya pangeran merajuk sang putri. Tentunya dengan intonasi, mimik, dan tatap mata yang dimodofikasi sedemikian rupa.
“Siaah...eh kamu sudah tugasnya Pak Hermanto sudah?”
“Apa? Makalah itu ya? Udah.”
“Saya kemarin pulang sih, gimana ya?”
“Kamu gak punya kelompok kan? Saya juga gak punya kelompok kok.”
“Gak punya kelompok kok sudah?”
“Ya yang gak punya kelompok gabung ama yang punya kelompok donk.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya, dimakalah saya saya tulis diajukan kepada guru fak Instalasi Sofware Berbasis Sistem GUI, Bapak Hermanto, A. Md. Oleh Annas Dzikrullah yusuf dan Heru Tamam. Gitu!”
“Ciye? Makasih ya, Nas.” Jawab Heru dengan tatap mata yang sulit aku terjemahkan. Tapi aku rasa dia benar-benar mengucapkan terima kasih.
“Sama-sama Pak Yai.” Jawabku cengengesan.
“Siah apara Nas?[5] Cuma disuruh mimpin doa aja kok.”
“Sampe semesjid Jami’ Jangkar nangis gitu.”
“Siah, ambura Nas. Todus engkok.”[6]
“Iya iya deh maaf. Saya ngerti kamu anti pujian. Eh, tapi kok anak-anak bisa tau? Kamu kan pulang sendirian. Seminggu lagi.”
“Mbaknya Rofi’i kebetulan ikut. Trus jum’atnya kan Rofi’i kiriman, ya nanya-nanya Mbaknya. Ya, trus gitulah.”
“Ya anggep aja apresiasi kekagumannya temen-temen sama kamu. Hehehe”
“Iya sih. Tapi saya gak enak kalo terus-teusan dipuji. Ngerasa gak pantes sekali saya dipuji gitu. Mm, kamu belum ngantuk?”
“Belum. Lagi kangen.”
“Ketemu baru sekali juga. Kenapa gak persiapan lomba aja?”
“Gak niat ama lombanya. Niatnya ama Thufanya. Hehehe. Sudah Her. Sudah bagus katanya Pak Badrul tinggal bahasa inggrisnya yang masih harus latihan. Susahnya minta ampun.”
“Mmm...” Hanya manggut-manggut.
“Kira-kira, Thufa tau gak yang kalau saya tau dia ikut lomba?”
“Nggak tau ya. Kenapa gak cari informasi. Kamu kan detektif cinta.”
“Hahaha...apaan sih Her. Saya taunya juga gak sengaja kok.”
“Tetep aja. Masa nyampe ukuran bajunya thufa, ukuran sandal, merk baju, parfum, kegiatan sehari-hari, warung tempat makannya, alamatnya, tanggal lahir, hobi, nama orang tua, kirimannya, beuh!”
“Ya kebetulan aja Icha ama Lail sekamar ama dia. Kan mereka yang cerita tanpa saya minta. Ya saya mah Cuma dengerin aja.”
“Ya coba aja tanya ama mereka.”
“Belum ketemu nanti aja.”
1= hahaha, kok bisa Cong?
2= nyaingin yang punya
3= kok ribut-ribut terus anak-anak ini?
4= Pak, saya kok tidak diikutkan?
5= Yah, apa-apaan sih, Nas?
6= Udah donk ah, saya malu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar