Senin, 05 Agustus 2013

Dua Kopiah

Ini Pesantrenku. Tempat aku meneruskan bangku pendidikanku.  Ma’had Sabily, Pesantren besar yang terletak hampir di ujung Jawa Timur, Situbondo.  Awal kali aku mendengar nama Ma’had Sabily aku berkesimpulan bahwa Pendiri Pesantren ini terinsprirasi salah satu distro Linux. Linux Sabily. Tapi itu dulu, sebelum aku tahu bahwa Pesantren ini sudah ada sejak 1914. Sejak komputer bersistem operasi masih belum ada. Dan karena itulah aku merasa aku harus minta maaf pada Pendiri karena sempat berpikiran nakal. Di sini, ada sahabat terbaik dan terawet, Heru namanya. Pintarnya sederhana, gaya dalam pakaian dan pikirannya juga sederhana. Selalu kasual. Ada juga Alfan, rival, sahabat, sekaligus ambisiku. Dengannya, hampir hanya masalah kopiahlah yang aku bahas. Dan ia yang tersembunyi di balik dinding pemisah, Thufa. Bidadari dari Probolinggo yang dengan sejuta anomalinya berhasil mengalihkan duniaku.

                Sebenarnya, kisahku bukan hanya di sini dan berakhir di sini. Ini hanya salah satu dari ribuan kisah dalam perjalanan hidupku. Kisah ini bermula tiga tahun yang lalu. Sejak hari-hari pertama aku bernafas dengan udara Sabily.

                Hari itu ada kegiatan khusus para santri baru, Orientasi Pengenalan Ma’had. Bagiku kegiatan ini, sejak hari pertama sampai hari kedua, biasa saja. Ustadz yang datang telat, teman satu ruangan yang semuanya laki-laki dan tidak aku kenal tapi bejibun, keharusan datang tepat waktu dengan seragam sarung hijau baju dan kopiah putih. Aku setengah hati mengikutinya.

                “Kok gak dipake kopiahnya? Nanti ditegur ustadz lagi.”

                Aku menoleh ke sumber suara. Nampak pemuda berwajah indo sedang tersenyum. Bingung. “Ngomong sama saya?”

                “Kamu pikir?”

                “Oh, hehe. Ya, enggak. Cuma males aja pake kopiah putih. Kamu siapa? Saya Anas, dari Bandung.”

                “Saya Alfan, Banten. Kamu Anas? Anas bin Malik?” Jawabnya tersenyum iseng sambil menyambut uluran tanganku. 

                “ Denger di mana saya menyampaikan hadits?”

                “Hahaha. Enggak kok enggak. Maaf-maaf.Bercanda.”

                “Iya, saya ngerti. Santai aja. By the way, SMA apa SMK?”

                “Kuliah.”

                “Bohong!”

                “Kok tau? Masih terlalu muda sih ya mukanya? Hehe”

                “Tuh liat dipintu.” Aku menujukkan kertas-kertas yang menempel di pintu. Di sana tertulis nomor dan nama ruangan. Skema bangku dan jenjang pendidikan formal. Ruang 8 KH. Dhafir Munawwar. SMA/SMK.

                “Oh ya. Hahaha.” Jawabnya sambil menepuk jidat.”SMA...SMA....ente?”            

                “SMK”

                “Oh, gak bareng berati. Eh Nas, kamu kok bisa males sama kopiah putih gimana ceritanya? Padahalkan kopiah putih itu bagus. Kalau kata saya sih, paling hebatnya kopiah. Contoh, kalau kena hujan atau kena benda najis ‘kan tinggal dicuci. Dijemur. Bisa tuh dipake lagi. Nah, kalo kopiah hitam?”

                “Gak tau ya. Saya lebih sreg pake kopiah nasional. Lebih gagah gitu. Pejabat-pejabat negara sering pake itu. Lagian ‘kan sekarang ada kopiah yang tahan air. Kaya Sangkar Kuning.”

                “Masa punya kamu tahan air? Saya gak yakin. Lagiankan tetep aja bentuk ama warnanya beda kalo udah kena air. ”

                “Punya toko baju ya? Hapal bener kayanya  ama barang.”           

“Hahaha...eh, kamu Bandung? Bandung mana?”

                “Saya Bandungnya daerah Cicaheum. Gak jauh-jauh amet kok dari terminal.”

                “Ooh. Gak tau. Eh, ustadz ustadz. Kopiahmu pake!”

                Tanpa pikir panjang dan dengan gesit aku kenakan kopiah putih yang sedari tadi aku acuhkan saja di meja. Tapi beberapa jenak kemudian. Setelah aku rapih dalam duduk dan berpakaian, aku sadar satu hal.

                “Ketipu! Hahahaha.” Kesal juga aku dibuatnya. Dan inilah perkenalanku dengan Alfan Abdul Aziz. Pemuda supel dan serba ada yang menjadi sahabat, rival, sekaligus ambisiku untuk going to extra miles.

***

                Lelah bukan main. Ini hari kedua kegiatan OPM. Tadi pagi aku bangun kesiangan, belum sempat menelan sedikitpun makanan. Tak ingin telat dan lalu dihukum hanya karena mengisi perut yang kosong, akupun segera mandi dan berangkat. Sungguh diluar kuasa. Siang harinya makan siang ditanggung Panitia, dengan porsi yang sungguh kurang dari cukup untuk satu orang. Belum lagi jadwal keliling Ma’had yang sedianya dilaksanakan esok dimajukan  menjadi sore ini. Duh, buah simalakama!
Sampai di kamar. Aku taruh buku di rak. Aku rasa aku harus berbaring sejenak, melemaskan oto-ototku yang kejang-kejang.
                “Nas!” Dari suaranya aku kenal. Heru Tamam. Teman sekamar dari Gumuk, Situbondo. Ya, bisa dibilang pribumi. Dia juga santri baru sepertiku.
                “Ya?”

                “Kamu kenapa? Belum makan?” Mendapat pertanyaan dengan menggunakan ekspresi muka seperti itu membautku geli dan harap-harap cemas. Bagaimana tidak harap-harap cemas sedangkan perutku lapar tak alang kepalang. Dan bagaimana tidak geli melihat wajahnya yang oval dan selalu nampak lebih polos ditambah ukuran mata yang cukup besar itu mengangkat alis. Membuat mata yang besar itu terlihat makin besar. Tapi jangan salah Bung, ini salah satu magnet alami milik sahabat terbaik dan terawetku yang membuat kaum hawa ingin mendekat dan mendekat.

                “Iya nih. Kamu sih tadi pagi nggak ngebangunin.” Gerutuku. Pura-pura. Hanya sebatas nada.

                “Dih, kamu itu yang dibangunin lia’.”[1]

                “Hehehe”  Aku tertawa saja meski sebenarnya tak mengerti apa arti kata terakhir dari kalimat yang ia ucapkan.”Kita sekelas ya di SMK?” Lanjutku.

                “Gak tau, tapi katanya Ayik iya. Kita bertiga sekelas. Sepuluh TKJ A. Heh, makan yuk? Saya baru kiriman loh tadi pagi. Nih ada roti mariam.”

                “Roti mariam?”

                “Di Bandung gak ada ya? Kasian deh lu. hehehe” Heru cengengesan. Inilah humor ala dia yang tidak pernah aku tahu dibagian sebelah mana yang lucu. “Ayo sini! Nih ada kare ayamnya juga. Yang lain udah loh tadi pagi.” Sebenarnya aku malu, tapi ya apa boleh buat. Aku lapar. Maka mendekatlah aku pada Heru dan setumpuk roti mariam lengkap dengan semangkuk jumbo kari ayam yang dingin itu.

                “Emm...rotinya enak ya? Bentuknya aneh. Tapi tetp aja sih enak. Apa tadi namanya?”

                “Roti mariam.” Berkomentar saat mekan membuat suara kami terdengar aneh.

                “Emm iya, roti mariam”  Tak lama kemudian sepuluh roti mariam dan semangkuk besar kari ayam itu sudah tak berwujud lagi. Kami makan dengan lahap.

                “Nih minun?” Tawarku sembari menyodorkan gelas berisi air.

                “Makasih ya.”

                “Saya lagi yang harusnya bilang makasih.”

                “Sama-sama dong kalau gitu. Em.” Heru nampak seperti menelan sesuatu. “Tapi coba deh kalau tadi pagi kamu makan juga, pasti lebih enak kerasanya. Masih anget.”

                “Ah enggak juga kok. Enakkan yang sekarang. Lebih ekslusif. Dapet lima gitu!”

“Hahaha” Kami tertawa lepas.

“Her, lain kali ajak-ajak lagi ya. Sumpah enak.” Ucapku sembari mengacungkan jempol.

                “Insya Allah.”

                “Kok insya Allah sih?”

                “Kan cuma Allah yang Maha Berkehendak. Siapa tau nanti saya lupa. Lagian Rasul saja masih ditegur gara-gara lupa gak bilang insya Allah ke orang Yahudi waktu diminta menjelaskan tentang Ashhabul Kahfi. Apalagi saya yang cuma manusia biasa?”

                 Inilah Heru, aku, dan sepenggal kisah perkenalan kami.

***

                “Ayo cepet!” Heru menarik lenganku.

                “Iya santai aja si” Jawabku ogah-ogahan.

                “Kedi e okom deki ben Panitia, mayo mara!”[2]

                “Ngomong apaan sih? Gak ngerti!”

                “Diberitahukan kepada semua sahabat-sahabat santri baru yang sampai saat ini masih berada di sekitar pertokoan Ma’had, di kamar-kamar, dan di jalan-jalan untuk segera memasuki aula putra karena acara Penutupan Orientasi Pengenalan Ma’had akan segera dimuali. Sekali lagi kepada semua sahabat-sahabat santri baru, kepada semua sahabat-sahabat santri baru yang sampai saat ini masih berada di sekitar pertokoan Ma’had, di kamar-kamar, dan di jalan-jalan untuk segera memasuki aula putra karena acara Penutupan Orientasi Pengenalan Ma’had akan segera dimuali.” Suara Ustadz Hermanto sudah membahana. Pertanda bahwa acara benar-benar akan segera dimulai.

                “Wah, Tad Hermanto la a siaran. Mayo lekas, Cong!”[3] Meski sebenarnya aku tidak mengerti, tapi sedikit-sedikit aku paham tujuan anak ini. Dia mengajak aku untuk cepat masuk ke aula.
                “Iya bentar, ini tinggal bayar.” Jawabku “Ustadz, ini berapa?” Tanyaku pada kasir Waserda Ma’had Sabily sembari menunjukan makanan-makanan ringan yang hendak kubeli. Setelah memberikan sejumlah uang sebagai penebus makanan ringan ‘bioskop’, kami setengah berlari menuju aula. Jarak aula dan waserda tidak jauh. Sekitar tiga puluh langkah kaki saja. Kami masuk melewati pintu samping aula. Karena pintu depan ekslusif untuk santriah[4].

                “Udah penuh, Ru.” Keluhku begitu melihat aula sudah penuh oleh santri.

                “Di sana tuh masih ada yang kosong.” Tunjuk kakak panitia yang berjaga di pintu ke tempat di sebelah tabir pemisah santriah dan santri putra. Hampir paling belakang. Mungkin dia mendengar keluhanku. Kami pun bergegas.

                “Aulanya hampir gak cukup ya?” Tanya Heru.

                “Katanya Wali Ruangku santri baru putra putrinya lebih dua ribu.”

                “Pantes.”

                Aku melihat sekitar. Penuh sesak. Ramai suara riuh rendah dan bau begbagai macam wewangian menerobos masuk berdesak-desakan kehidung. Kipas yang menggantug di atas kuhitung jumlahnya sekitar  15 kipas dan masih tidak cukup mengusir hawa panas aula Ma’had. Dan untuk beberapa saat aku merasa pening.

                “Ssstt...sssttt...sssstt.....” Semuanya mendadak hening saat Pengasuh memasuki ruang aula.

                “Her, siapa nama pengasuh kita? Lupa saya.” Tanyaku.

                “Kamu Nas..Nas...masa nama kiainya sendiri lupa?”

                “Ya mangkanya kasih tau biar inget.” Jawabku sekenanya.

                “Kiai Haji Raden Ahmad Fawaid As’ad. Inget?”

                “Oh iya iya. Kiai Fawaid. Heeh.”

                Seperti laiknya acara-acara lain di Ma’had, acara penutupan OPM ini dibuka dengan pembacaan Al-fatihah, pembacaan ayat Alquran dan shalawat Nabi, sambutan Panitia, sambutan Pengurus Ma’had, dan taujihad irsyadat dari pengasuh. Sampai diacara keempat aku sudah mencatat bebrapa point; satu, perbaiki niat. Kita harus ikhlas mesantren, jangan merasa terpaksa. Dua, mondok untuk mengaji, mengaji untuk diamalkan, amal untuk bekal diakhirat. Tiga, niat mencari ilmu jangan untuk ijazah, kehormatan dimata orang, atau mendapat harta melimpah tapi untuk menghilangkan kebodohan. Empat, untuk mendapat ilmu yang manfaat dan membawa berkah, harus menjaga perasaan guru, hormat pada guru, dan kitab. Lima, jangan membuang sampah sembarangan. Enam, tingkah laku harus lebih dijaga. Tujuh, untuk santri putra tidak boleh berambut panjang atau bermodel yang tidak mah’hadiyah atau sanksinya dicukur gundul oleh pengurus ma’had, bermain bola, kartu remi dan domino, berenang disungai ketika musim hujan, dan bercelana pensil. Untuk santri putri, aku tidak mencatatnya. Karena menurutku itu useless. Delapan, jangan mencuri, berbohong terhadap teman, ketua kamar, ustadz, terlebih orang tua, dan ghasab[5]. Sembilan, dianjurkan masuk lembaga qiratuna dan amsilati supaya bisa cepat membaca alquran dan kitab kuning dengan baik dan benar. Sepuluh, rajin sekolah dan berusaha untuk tidak melanggar aturan Pesantren  terutama mebawa, mengoperasikan, dan atau meminjam handphone.

                “Kenapa Her?” Tanyaku melihat Heru kebingungan.  Ditunjukannya empat balpoint padaku. Warna-warni.

                “Dapet dari mana? Banyak amet?”

                “Dilempar sama santriah. Dari sana.” Tunjuk Heru ke arah tabir pemisah.

                “Mana kulihat.” Tanpa meminta persetujuan aku ambil balpoint berwarna biru. “Aneh, ngapain juga pen masih bagus gini dilempar ke sini.” Iseng aku coba menggunakannya di buku kecil yang tadi kugunakan untuk mencatat. Berfungsi dengan baik. Aku buka balpoint itu. Niat hati hanya ingin mengecek tintanya, barangkali tintanya sudah hampir habis dan si empunya merasa sudah tidak membutuhkannya lagi namun yang kudapat adalah kertas yang dilingkarkan di tempat tinta balpoint. Curiga surat, akupun membukanya.

                Kenalan donk, nama kamu siapa? Anak mana? Kamar?
                “Surat Her.” Ucapku sambil tersenyum.

                “Hus ah, Jangan jangan! Nanti ketahuan lagi.”

                “Asal kamu jagain insya Allah nggak akan.” Ucapku sambil tersenyum dengan mata berbinar. ”Jagain ya, Bro! Hehehe.” Akupun menulis balasan dikertas itu.

              Anas Dzikrullah Yusuf dari Bandung. F 9 kamu?
      Aku lilitkan kertas itu dan kupasang kembali seperti sediakala. “Dari arah mana tadi ini pen datengnya?” Tanyaku pada Heru. Dengan setengah hati Heru menunjuk pada satu titik. Dan “Bismillah.” Aku lemparkan pen biru Hello Kitty ke arah yang ditunjukkan Heru.

                “Punyaku, Mbak!” Ada desiran yang begitu hangat yang kurasakan seketika mendengar suara dari balik tirai itu. “Lihat aja tulisannya di dalem kalo gak percaya.” Semakin menjadi. “Iya kan!” Duh, Gusti!

                Tak lama kemudian pen itu kembali. Aku buka.

                Thufa Althafunnisa dari Probolinggo. B 5. Salam kenal ya ^_^ Oh ya, kul or skul?

                Apa bedanya dengan chatting? Hanya saja ini dilakukan tanpa bantuan internet. Sementara Heru semakin kecut wajahnya aku menulis balasan demi balasan. Aku lirik kebelakang, ada juga satu dua yang sepertiku. Masih ada teman. Bela hatiku.

                Aku:
                Yoi..Sekolah SMK. Kamu?
                Thufa:
                Aku juga SMK loh. Aku ambil TKJ kamu? :P
                Aku:
                Aku juga TKJ. Hahahy XD kok bisa sama ya...? kamu ngikut2 ya...?
               Thufa:
               Kamu itu paling yang ngikutin aku :P secara akukan trend setter gitu hehehe. Eh aku mau pinjemin sesautu ke kamu. Jaga baik-baik ya...
                Aku:
                Apaan tuh? Insya Allah...
      Kali ini yang datang bukan balpoint tetapi buku. Binder. Sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Sampulnya dilapisi scotlate putih dan plastik transparan. Hanya ada stiker kupu-kupu biru dan tulisan “Thufa’s Soul” dari stiker berwarna hitam di bawahnya. Balpoint itu ada di dalam binder.

                Thufa:
                Jaga baik-baik ya. Ini jiwaku, duniaku. Ada ditangan kamu sekarang.
                Aku:
                Kamu yakin? Aku takut gak bisa ngejaga ini loh. Kita kan baru kenal.

                Thufa:
                Aku juga gak tau ya. Aku cuma ngelakuin apa yang aku pikir harus aku lakuin. Aku percaya sama kamu.

                Aku hirup dalam-dalam binder milik Thufa. Wangi. Dan rasanya aku seperti berada di awan lembut berwarna biru. Lembut tapi kuat! Aku buka binder itu. Puisi. Halam berikutnya puisi. Puisi lagi. Puisi. Semuanya puisi. Tak kusangka. Aku juga suka puisi. Aku putuskan membaca beberapa.
       Dilema
      Ma, engkau puisi tak terkata
      Ayah juga syair indah tak ternada
      Titah kalian sabda kedua
      Tapi Ma, hari masih pagi buta
      Aku masih ingin dikasur mendengkur
      Belum ada pikiran untuk aku bertafakur
      Ma, aku kantongi banyak perkataan
      Kata orang penjara itu meski suci banyak nyamuk menumpuk
      Kata orang sangkar itu meski emas ahli buat orang cemas
      Kata orang  hatiku tak mungkin bisa berlabuh di sana
      Aku ingin terbang diangkasa Ma
      Atau berlayar dilaut lepas saja
      Paiton, 20 September 2008
      Dilembar berikutnya;
 Belum Ada Judul     
Fajar datang beriring adzan yang kumandang
Sujudnya sudah tak lagi panjang
Tapi hatinya masih jua tak tenang
Malam yang panjang sukses buat hatinya berceceran
Air mata deras tak temu bendungan
Tak cium muara pun lautan
Berlari ke Selatan sebagai pelarian.
Ia sendiri!
Lalu luka yang berpusat di dada kiri. Kenangan demi kenangan menusuk berkali-kali. Entah sejak kapan ia berumah sunyi? Sendiri di dunia asing yang semakin asing.
Nafas tersengal mendesah
Bersimbah merah
Karena rasa ini laiknya api huthamah, membakar sampai tulang penuh marah!
Berikutnya lagi;

Menisik baju sehelai demi sehelai, menyulam luka tak usai-usai.
Setiap hari, cemburu buta lagi merindu cinta membunuhnya dengan gemulai.
Mencabik-cabik sambil membelai.

      Aku:
      Kamu suka bikin puisi? Puisi kamu bagus2. Aku suka! Oh ya, kayanya hatiku udah mulai berlabuh di dermaga sabily.

      Thufa:
                ..............

       Aku:                                         
       Maksudnya?

      “Amin...amin!” Senggol Heru. Aku terperanjat. Aku lihat semua mengamini doa yang dilantunkan Kiai Fawaid. Acara sudah selesai? Sebentar sekali. Kurasa lebih lama acara pembukaan yang sampai jam sepuluh lebih. Aku lirik jam tangan. 23:17!

                “Alfatihah...” Pandu Kiai Fawaid. Serempak semua mulut komat kamit membaca Alfatihah.

                “Dengan beakhirnya pembacaan doa maka berakhir pulalah acara penutupan Orientasi Pengenalan Ma’had yang di selenggarakan oleh Pengurus Pusat Ikatan Santri Ma’had Sabily. Saya selaku MC memohon maaf apabila ada salah-salah kata. Wabillahi taufik wal hidaya, warridha walinayah. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Ustadz Hermanto yang menjadi MC menutup acara. Aku lihat santri belum ada yang beranjak dari tempat mereka. Sampai para umana’ dan Kiai yang duduk di depan keluar. Barulah, “Santri putra...santri putra dimohon untuk tidak beranjak terlebih dahulu, santri putri mau lewat. Tunggu sampai santri putri selesai!” Kali ini ustadz Ahmadi selaku Ketua sub bagian Keamanan dan Ketertiban Ma’had.

                “Huuuuuu.....!” Serempak santri putra menjawab suara yang muncul dari speaker aula.

                “Her. Heru, tadi apa aja yang aku lewatin?” Tanyaku.
                “Banyak!”

                “Apaan?” Paksaku.

                “Ceramah Kiai Sahiruddin, pembagian hadiah The Best Ten, sama pembagian hadiah ruang terbaik.”

                “Apa aja katanya Kiai Sahiruddin?”

                “Santri baru jangan kenalan sama cewek.” Jawab Heru ketus.

                “Yee itu mah akal-akalannya kamu aja. Iri ya iri? Haha”

                “Nas...Anas!” Aku mencari sumber suara. Nampak Alfan berjalan mendekat, dilengannya ada semacam bingkisan hadiah. “Maneh teu meunang The Best Ten?” [6] Tanyanya.

                “Henteu... maneh si? Meunangnya?”[7]

                “Iya donk. Keempat tapi. Hehe”

                “Oh udah bagus donk. Dari pada saya kan gak dapet sama sekali. Selamet ya!” Sedikit panas juga hati ini. Dan ucapan selamat yang aku ucapkan adalah kalimat paling klise yang aku ucapkan pertama kali di ranah Sabily. Tapi tak apalah! Dia dapat peringkat keempat aku mendapat Thufa.

                Ah, Thufa...

                “Duluan ya.” Pamitku “Yuk, Her.”

      Sampai di kamar aku masih tersenyum-senyum. Panas hati tentang The Best Ten itu sudah tak terasa. Dan tentang Thufa, sungguh aneh! Entah karena gadis adalah hal yang  langka di pondok pesantren sehingga aku tidak bisa bersikap biasa atau aku yang baru beberapa hari menghirup udara Sabily sudah lupa dengan yang namanya kaum hawa dan baru merasakannya lagi sehingga aku tidak bisa bersikap biasa-biasa saja atau karena ia memiliki hobi yang sama denganku sehingga aku tak bisa bersikap biasa-biasa saja, atau mungkin ketiganya. Tapi yang jelas, perkenalan aku dan Thufa membuat hatiku benar-benar berlabuh dengan cepat di Sabily. Ah, Thufa....

Bersambung...




____________________
[1] lia’ (Madura) Lengket. Biasa digunakan sebagai istilah untuk susah bangun.
[2] Awas nanti dihukum lagi sama panitia. Ayo cepet!
[3] Tuh Ustadz Hermanto sudah manggil. Ayo cepet, Mas!
[4] Santri putri.
[5] Meminjam barang tanpa seizin dan sepengetahuan pemiliknya.
[6] Kamu gak dapet The Best Ten?
[7] Enggak...kamu gimana? Dapet ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar