Rabu, 14 Agustus 2013

Imtihan: Cinta Ala Mie Instan

Ditulis oleh: Khairut Tamam, Arif Hidayatullah, & Annas Saepul Rohmat/Annas Kamal Batubara

“Baabul ‘Irabi. Ini adalah bab ‘irab.”
Suara Ustadz Nasir riuh rendah terdengar dikupingku sampai akhirnya tak terdengar sama sekali. Pecah sudah konsentrasiku pada pelajaran. Perhatianku sepenuhnya hanya untuk tulisan dari kapur putih dipojok atas kanan papan tulis hitam putih itu, “Imtihan : 480 jam lagi…!”. Belum genap dua bulan sejak aku meninggalkan bangku kelas 3c, dan belum genap dua bulan sejak aku menduduki bangku 4d. Tapi, hantu Imtihan ini sudah menghantuiku. Entah di MI, entah di SMK, entah di Al-barq, entah di Masjid atau Musholla. Tak kenal siang atau malam. Bahkan bangun tidur pun yang aku ingat pertama kali adalah : Imtihan! Sungguh sangat canggih luar biasa ‘menakutkan’ efek samping dari satu kata itu.
                                                                               ***
Aku lirik teman-temanku. Ada yang sedang membahas finishing Opening Ceremony Safari Ramadhan besok malam, ada yang cengengesan didepan handphone-si mungil yang bisa membuat kami harus angkat koper jika dipergunakan di pesantren, ada yang sibuk dengan bajigur atau bandreknya-udara di daerah Jawa Barat memang rata-rata dingin, terlebih rumahku yang terletak di daerah Pangalengan, sehingga kami lebih memilih menghangatkan tubuh dengan bajigur atau bandrek. Minuman khas orang Sunda.
Ting Tong Assalamu’alaikum…
Bel rumahku berteriak. Spontan aku beranjak dari sejadah Dhuhaku . Berjalan setengah berlari menuju pintu. Aku buka pintu kayu jati berukiran Jepara. Deg! Mohon maklum sebelumnya, bagi bangsa manusia yang sangat jarang sekali berhadapan dengan lawan jenis seumuran sedekat ini. Ini adalah ‘sesuatu banget!’.
“Assalamu’alaikum.”
Sapa gadis berkulit putih, berwajah manis lengkap dengan lesung pipi dan bibir yang membentuk senyum alami dari ambang pintu sembari mengulurkan jabatan tangan lain mahram. Dan matanya, matanya biru!
“Wa’alaikumsalam.”
Mau tidak mau dan memang secara otomatis aku menjawab salamnya dengan senyum termanis dan terlebar dari 7 senyum yang aku punya. Kadar kemanisan senyum termanisku dengan senyumannya adalah 1:100. Ironis sekali.
“Hm, Very ya? ” Subhanallah! Dia tau namaku.
“I-Iya. Ada apa ya?” jawabku kikuk.
“Huft, gimana ya ngejelasinya?”  Dia tersenyum, dan merogoh tas biru abu-abunya, “Ah, mungkin ini bisa ngejelasin.” Dia memperlihatkan kertas putih satu bendel yang dari mukanya saja aku sudah kenal. Proposal Safari Ramadhan. Dia santri putri.
“Wah, serasi pisan, euy! Cocok banget. Baru keteu, baru kenal. Eh, udah biru-biru.” Goda  A mukhtar, Ketua IKSASSku. Menggangu saja.
Awalnya aku tak mengerti  joke-nya. Tapi beberapa jenak kemudian aku baru sadar. Aku mengenakan songkok putih bermotif batik biru langit, baju koko putih dengan selipan batik biru tua dibeberapa tempat, dan sarung songket biru tua. Sedangkan ia, berkerudung biru muda segitiga yang ditarik melingkar kebelakang, baju hem kotak biru-putih,cardigan senanda, dan rok meksi sewarna.
“Ah, Aa bisa wae. Bisa aja.”
Jawabku agak salting, diiringi dengan senyum ke tiga dari tujuh senyum yang aku punya, senyum salting.
“Oh,iya. Lupa nanya. Namanya siapa, Neng? ”
Wah, dia tersenyum lagi. Ya tuhan mahluk apa yang ada di hadapan ku? Ma hadzal basyar. Batinku.
“ Lailatun Ni’mah Khaleej Ibrahim. Panggil aja Laila. ”
 Bagus juga namanya cocok dengan orangnya, sih. Batinku lagi.
“Eh, ini. Hampura nya. Maaf Cuma dapat segini. ” Laila menyerahkan sejumlah uang, hasil jerih payahnya berkeliling daerah Cibiru guna mencari dana, pada A Mukhtar yang sudah benar-benar ada didekat kami. Aku tahu si Bidadari Biru, ekheump, maksudku Laila, berasal dari Cibiru karena bukan hanya sekali-dua kali teman-teman membicarakan kecantikannya yang menyihir dan darahnya yang blesteran Lebanon-Prancis. Bahkan temen-temanku dari daerah lain pun banyak yang menaruh hati padanya, dan banyak pula yang bermuram durja karena ditolaknya. Dan kini aku tahu, ternyata dia lebih indah dari yang aku bayangkan.
“ Hai, ngelamun! ”
Kejutnya, mengembalikan aku pada kesadaranku.
“ Eh, e. Maaf.”
“Jadi, posko putri dimana?”
Aku melirik kekanan, mencari sosok A Mukhtar. Ajaib. Dia sudah tidak ada. Aku bahkan tak tahu kapan dia pergi.
“Sini.” Aku berjalan ke beranda rumah diikuti Laila dari belakang, “Itu, tiga rumah dari sini. Rumah cat putih-abu-abu. Nomor 49. Itu rumah bibiku. Posko putri. Atau, mau dianter?”
“Oh, itu. Ah, gak usahlah. Ngerepotin aja. Udah keliatan kok.”
Dia lalu pamit dan berjalan menjauhiku mendektai posko putri. Sampai ketemu nanti malam di rapat opening ceremony Safari Ramadhan, Lail.  Batinku.
Safari Ramadhan  adalah kegiatan pesantren yang dilaksanakan setahun sekali sewaktu imtihan oleh IKSASS Rayon yang tentunya digalang oleh IKSASS Pusat. Fungsinya tak lain adalah untuk menggugah minat masyarakat pada pondok pesantren, mempraktikan illmu yang didapat selama setahun  menempa hati dan otak di pesantren, dan mengintrospeksi kekurangan apa yang harus ditutupi pada tahun berikutnya, dan yang paling utama adalah untuk melatih santri hidup bermasyarakat. Mondok untuk mengaji, mengaji untuk diamalkan.
“Heh, Ver. Ente resep nya? Suka ya.” Goda A Mukhtar tiba-tiba dari arah belakang. Ah, seperti hantu saja. Muncul dan pergi semaunya. Untunglah aku sudah terbiasa.
“Hallah, ma enya karek papanggih langsung resep. Emangnya mie instan, lima menit ketemu air panas langsung mateng. Ya, enggaklah. ”
Aku berdalih meutupi kenyataan dengan wajah memerah pada ketua IKSASSku ini.
“Dia jadi perlengkapan, ente kan bendahara. Bisa jadi jalan eta teh, bro. ” Godanya lagi sambil menepuk bahu, “mulai dari hari ini kalian bakal sering ketemu. Sing sukses we nya. Good luck!”
“Yah, aya-aya waelah. Ada-ada saja.”
Aku meninggalkannya di beranda rumahku seraya membendung senyum. Oh, Ya Tuhan. Apa ini? Apakah ini yang disebut dengan cinta pada pandangan pertama yang didukung oleh ketua IKSASS dan disponspori oleh Safari Ramadhan? Ah, entahlah. Tapi aku sadar, sejak saat itu Lailatun Ni’mah Khaleej Ibrahim akan terus mengisi rongga-rongga kepalaku. Membuat aku gelisah tak menentu.
“Astaghfirullahal’adhim.” Istighfarku lirih pada-Nya. Menghapus  sebagian kegelisahan yang akan beranak pinang ini. Dan Dialah Dia yag selalu ada untuk hamba-Nya yang beriman.
                                                                                            ***
15 Hari Kemudian, 3 Hari Setelah Kegiatan Belajar Mengajar Safari Ramadhan Selesai. Di Factory Outlet : Cargo.

            Aku parkirkan Suzuki Satria FU hitam-biruku di halaman parkir Cargo. Tentu saja setelah aku membayar ongkos parkir. Aku datang kesini tidak sendiri. Adikku yang memintaku untuk mengantarnya berbelanja di Bandung. Lumayanlah bermotor ria Pangalengan-Bandung. Untung ada rumah pamaku didaerah Ledeng.
            Suasana lalu lintas disekitar Cargo cukup ramai, didepanya ada Musium Geologi, tak jauh dari situ ada Gedung Sate, Gazeebo, PUSDA’I, JAMSOSTEK, PT. Telkom Indonesia. Sebenarnya masih banyak nama gedung-gedung besar dan berpengaruh, tapi aku tak hapal benar nama-nama gedung itu.
            Aku berjalan membuntuti adikku, memberi komentar seperlunya tentang baju-baju yang dipilihnya. Adikku lantas memasuki kamar pas untuk mencoba  dua pasang baju yang dipilhnya tadi. Dan dari tempat aku duduk aku melihat siluet tubuh yang sangat aku kenal,dia mengenakan baju gamis putih bermotif batik tulis Solo dan kerudung lukis coklat dibalut selendang batik solo. Aku geli melihatnya, gayanya seperti ibu-ibu. Ibu dari anak-anakku nanti. Hehehe...        
            “Laila!” Dia menoleh dan berjalan cepat dengan tanga  mengangkat sedikit gamisnya.
            “Eh, Very! Ngapain di sini? Sendiri? Jangan-jangan kamu ngikutin aku terus ya?”
            Sebelum pertanyaan beruntun itu menyeruak aku sudah memasang senyum. Tak usahlah kalian mengejar ak untuk menanyakan senyum keberapa dari 7 senyum koleksiku.
            “Ini. Nganter si Mita belanja.”
            “Oh, jadi Mita jadi belanja di sini. Aku kira dia cuman becanda.”
            “Lho? Jadi kamu yang ngajak.”
Laila tersenyum manis, “Iya, gak apa-apa kan?”.
“Iya, gak apa-apa.” Jawabku. Juga dengan senyum.
“A Very, aku amb…” Suara Mita yang baru saja keluar dari kamar pas terpotong, “Ih, teteh Lail!” Sapa Mita pada Laila setengah berteriak sambil menghambukan badangnya, memeluk Laila. Entahlah, sejak mereka bertemu mereka sudah seperti sahabat saja. Apa mungkin pertanda ya. Hihihi….
Aku biarkan saja mereka mencari baju dan berbicara ngalor-ngidul. Aku lebih suka berjalan dibelakang atau disamping dan melihat wajah Laila yang terkadang menoleh ke arahku saat memilih baju atau tertawa ringan. Ah, seakan ada yang memindahkan surga kehadapanku.
                                                                                   ***
Bus Pahala kencana melaju cepat membelah sepinya jalan Pantura dimalam yang mengajak manusia meresapi ayat kauniyah yang ada padanya. Saatnya aku kembali ke penjara suci. Kawah Chandadimuka bagi yang benar-benar ingin menimba ilmu, tidurnya saja masih dicekoki ilmu. Tapi juga seperti taman gantung bagi yang ingin berleha-leha, bahkan kelaspun baginya seperti hotel berbintang lima. Tergantung pada bagaimana orangnya saja sih.
02.30. aku masih terjaga. Aku lihat pemandangan diluar yang hanya berkelebat seperti lukisan abstrak yang bercahaya. Jika dilihat dari alamat-alamat yangtertera dibawah nama-nama toko yang terbaca sekilas, daerah ini bernama Semarang.
Aku lelah, aku coba pejamkan mata namun tak bisa. Aku teguk Pulpy Orange yang sedari tadi hanya aku genggam, ajaib, rasanya hambar. Maksudku rasanya tak seperti biasanya. Biasanya aku akan menghabiskan setengah botol minuman favoritku ini dalam sekali teguk, tapi kali ini tidak. Aku menyerah lelah, aku sandarkan kepalaku pada jendela kaca yang dingin. Perlahan tapi pasti aku merasakan emosiku mulai berlebihan. Aku tahu aku harus segera mengalihkan pikiranku pada hal lain, buka pada episode empat hari yang lalu. Karena emosi berlebihan jenis apapun akan membuat aku berurusan dengan air mata. Tapi nampaknya tahu-ku belum sampai pada tingkat sadar.
Cahaya lampu dipinggir jalan yang mirip cahaya blitz kamera malah mengantar aku pada episode itu, episode 4 hari yang lalu. Episode pernyataan cintaku pada Laila.
Cahaya bulan purnama yang membentang keperakan dikawal dengan ribuan bintang seakan menyaksikan dua anak adam, aku dan Laila, yang berdiri menghadap ke hamparan kebun teh didaerah Ciwalini. Lokasi Safari Ramadhan tahun ini.
“Laila, a-aku suka kamu.”
“Trus?”
Jawaban Laila yangterlampau singkat dan terkesan mementahkan proklamasi cintaku yang terbata-bata membuat aku kaget tak karuan. Seperti disengat Kalajengking ruaksasa.
“Aku pengen tau juga tentang, perasaan kamu.”
“Hm…, kalo aku suka ama kamu gimana? Trus kalo aku gak suka ama kamu gimana?”
Ya, Allah. Sikapnya berubah 360˚+180˚. Dia bukan seperti Laila yang aku kenal. Apa mungkin dedemit Ciwalini meraskuinya ya?
“Aku suka ma kamu dari tahun kemari, Lail. Waktu SKN di rumahku aku udah suka kamu. Selama setahun ini aku pendem cinta aku, aku deketin kamu, aku terus update informasi tentang kamu, aku…”
“Stop! Cukup.” Laila memotong pembicaraanku yang bernada melanklonis. “Gini aja, Ver. Maaf, aku gak bisa secinta itu ke kamu.aku harus fokus dengan kelas tiga aku sekarang, lagian kita masih SMK. Masih banyak yang lebih penting dari pada cinta, pacaran, dan putus.
“Trus, aku gak seperti aku dalam penilaian kamu. Satu tahun gak akan cukup untuk mengenal siapa aku seutuhnya, Very. Aku bukan orang yang gampang jatuh cinta.
“Kalau selama ini sikap aku sama kamu seolah-olah aku suka ama kamu aku minta maaf. Aku cuman nyoba mencintai setiap orang yang aku kenal dan yang kenal aku secara rata. Yang aku cintai lebih hanya Orang tua aku, Allah, Rasul, dan Mushaf.”
Laila mengalihkan pandangan ke hamparan kebun teh yang berwarna keperakan karena sapaan cahaya bulan. Suaranya tadi terdengar berapi-api. Tapi juga ada isak yang tertahan.
“Ver, udah jam 10. Kita harus istirahat.” Laila menoleh padaku dan tersenyum. “Besok kita pulang’kan? Lagian aku juga takut ini jadi fitnah. Assalamu’alikum.”
Malam itu, Laila meninggalkan aku sendiri yang masih mematung di pematang jalan kebuh teh yang mengarah ke rumah Husain, anak Bos Teh  Walini. Kejadian itu terlalu cepat bagiku. Otakku masih belum bisa mencernanya secara sempurna.
Malam itu, aku tak bisa berfikir secara jernih. Semua kecerdasanku hilang menguap. Emosiku beragam saling tumpang tindih.
Malam itu, aku hanya mematung. Meresapi belaian angin yang semakin dingin. Memandangi hamparan kebun teh yang mkenjadi suram.
Malam itu, aku biarkan hujan turun pelan-pelan membasahi tubuhku dan tubuh pohon teh. Huja yang semula seperti menahan isakan tangis, seperti aku, semakin lama semakin menjadi-jadi, seperti aku yang tak sanggup membendung air mata. Air mataku berjatuhan deras sederas air hujan.
Dan malam ini, di bumi Semarang, tangisku kembali pecah namun tak bersuara. Hanya air mata yang semakin deras seperti derasnya hujan yang mulai turun di luar sana.
Imtihan benar-benar ujian. Yang menguji sejauh apa kekuatan imanku. Sekokoh apa niatku mencari ilmu. Dan ternyata aku masih seperti mie instant.
“Tengateh, jhe’ sampe’ kening ghude’enna pesona oreng bini’. Polana jheriya se deddhi bettalla tapana santre-santre kalaben kesatria aghung.”­1
Dawuh Kiai kembali terngiang ditelingaku. Memembuat aku semakin larut dalam kekecewaan, kesedihan, dan kegundahan.
Dalam hati aku berdo’a. Aku rapuh. Amat teramat rapuh.

“Ya, Allah. Maafkan hamba-Mu yang masih rapuh ini. Jangan engkau marahi hamba karena kerapuhan ini.
“Ya Allah Ya Lathif. Lembutkanlah hati ini untuk menyadari bahwa semua yang ada didunia ini hanya untuk dijalani, bukan untuk dimiliki.
“Ya Allah. Maafkan hamba. Hamba terlalu sombong. Hamba terlalu berambisi. Hamba terlalu yakin dengan akal yang Engkau titipkan hamba bisa menundukan hati gadis bermata biru itu.
“Allah Ya Karim. Peluklah hati ini agar tak lagi terpaut pada yang telah hilang, pada yang telah suram.”


Epilog  :
            Laila merebahkan tubuh dikasur empuknya setelah menulisi halaman kosong dibuku diarynya. Ada sesak sakit yang merongrong dalam dada. Ada sesal dan kecewa yang menggebu-gebu dinurani. Ada isak yang dibendung dipelupuk mata.
           Buku diarynya masih terbuka. Dan lihatlah apa yang tertulis dihalaman yang semula kosong itu.

Akhirnya sgala akan tiba pada hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama aku sadari
Pada suatu ketika para kesatria nyatakan cinta padaku, membatalkan tapanya.2 

Very Ahmad Lazuardi
Satu lagi kesatria yang aku buat bersedih hati
Bukannya aku tak mudah jatuh hati
Tapi Ustadzahku menasihati:
“Maju satu langkah dalam urusan cinta, berarti mundur beribu-ribu langkah dalam thalabul’ilmi.”
Dan aku tak ingin membuktikannya kembali.

09 Syawal 1432.


Laila El-Khaleej

__________________________
1 “Hati-hati, jangan sampai tergoda oleh pesona kecantikan kaum wanita. Sebab itu yang menjadi batalnya tapa para santri dan kesatria agung.”
1 Diambil dari Bumi Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy dan diterjemahkan secara bebas kedalam bahasa Madura dengan beberapa perubahan. 
2 Diambil dari puisi “Cahaya Bulan” Nicholas Saputra dalam film Soe Gie Hok, dengan banyak perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar