Hari ini yang kusebut diam, adalah gemuruh gaduh yang dipaksa teduh. Hiruk yang terpekuk. Topan kata yang bersila di sudut hati, sesekali mengintip dari mata kanan dan kiri. Mencoba memperkenalkan diri, namun tercegat macet Bandung yang tak bisa diprediksi. Berkali-kali mati suri.
Itulah diam.
Memandangimu, di Facebook atau Twitter. Entah di Line atau Whatsapp. Aku terdiam, meski pikiran menyebar berlayar-layar lalu karam. Rindu yang menjomblo, sampai bercucu cicit. Rindu yang tak terjamah, tak diterjemah.
Setiap hari kita buat janji, untuk bertemu dan mengobrol lagi. Kita, aku dan potretmu. Dan disetiap hari itu pula, sepi mewakilkanmu. Kuhibur ia, dengan lagu untukmu. Memang bukan laguku, tapi untukmu.
“Kukenal kamu, dari jauh. Tergetar hati melihatmu. Matamu bening, suaramu bening. Smangatmu hening. Wajahmu lembut, senyumu lembut. Kerudungmu, tegas terurai.
Terasa sejuk mengenalmu, merdeka aku dibuaimu. Jalan yang panjang sebatas pandang kau tempuh tanpa mengeluh. Tangan terkepal brangkatlah kapal menuju dermaga sepi.”
Wahai peredup lagi pencerah hariku;
Aku mengingatmu, meski ingatanmu melupakanku.