Aku, Muhammad, dalam perjalanan pulang.
Takdir damparkan aku di tanah bertuah.
Agar cukup kiranya bekalku di negri sebrang kematian nanti.
Di sini, aku sering memandang awan.
Kian hari kian kelam.
Kueja kelam itu dengan pikirku, tak tereja.
Kususuri liuk-liuknya, penat aku di buatnya.
Seperti mencari pangkal dalam lingkaran;
tak berujung, kawan!
Awan di negri ini carut-marut.
Tindak tanduk tanahnya pun sering kali menggelitik perut.
Pemandangan yang bagiku terasa kecut.
Hatiku perih bak diparut.
Siapa sanggup mengusir mendung?
Di Lauh Mahfudz, jawabanya tergantung.
Siapa yang tahu?
Lebih lagi Ibrahim telah bersua Tuhannya.
Seakan makin sulit saja mengundang terang.
Tapi, untunglah aku didamparkan di tanah bertuah.
Dan kursi itu kembali memberi amanah.
Saban subuh, ada saja petuah.
Dari cerulit yang ditempa Makkah dan Madinah.
Membabat lara dengan canda.
Halau galau dengan guarau.
Ajari kejujuran dan cinta yang tak banyak tingkah.
Penuh hikmah.
Alhamdulillah...
Tanah Bertuah, 02 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar